PETAKA yang disebut G.30.S (Gerakan 30 September) PKI, 52 tahun silam menyimpan banyak kenangan sangat pahit bagi yang langsung terkena, merasakan, melihat, juga bagi seluruh masyarakat Indonesia, termasuk di Buleleng, Bali.
Menjelang atau memasuki bulan-bulan September-Oktober setiap tahun, bangsa Indonesia, terutama para jompo, yang telah dimakan usia dan penyakitan, ingatannya kembali kepada masa-masa kebiadaban yang melanda dan menghantui bumi Nusantara, termasuk Kabupaten Buleleng, Bali pada tahun-tahun 1965/66, lebih dari setengah abad yang lalu. Segala apa yang terjadi pada tahuntahun tersebut, kemudian menjadi sangat terkenal dengan sebutan "Peristiwa 1965", suatu peristiwa Tragedi Nasional yang tidak mungkin dilupakan begitu saja oleh manusia-manusia yang punya nalar.
Bali harus dibersihkan dari malapetaka, diupacarai dengan banjir darah agar Pulau Dewata suci kembali. Mayat-mayat pun dibuang di berbagai tempat supaya unsur-unsur jahat tak bersatu. Rumah demi rumah di suatu desa dibakar,dan dihancurkan. Kuburan massal yang berisi ratusan mayat bertebaran hampir di seluruh bagian pulau cantik ini.
Untuk di Buleleng, Bali, markas PKI yang kini sebagai ”Partai Terlarang” ada di wilayah Desa Banjar Tegal, Jalan Pahlawan, Singaraja. Masyarakat menyebutnya di umahe tegeh yang kini asetnya sudah terjual habis oleh pewarisnya, berubah menjadi Puri.
Hampir di setiap kota provinsi dan kabupaten didirikan tempat-tempat tahanan orang-orang yang ditangkap dengan tuduhan "ada indikasi" terlibat langsung maupun tak langsung dengan G.30.S./PKI.
Di Kota Singaraja, Kabupaten Buleleng, Bali, sebagai tempat tahanan bagi mereka, adalah disebut-sebut kantor sosial (kini menjadi Panti Asuhan Udyana Wiguna, Jalan Dewi Sartika). Hampir setiap malam, mereka diambil dibawa ke ”lobang buaya” yang kini masuk wilayah Desa Giri Emas, depan Lapangan Tembak Perbakin Buleleng.
Dalam penyelidikan rakyat Bali, diketahui beberapa tempat yang menjadi lokasi kuburan massal. Dan yang saya tahu, seperti di Desa Sangsit (kini setelah pemekaran desa disebut Desa Giri Emas), Kecamatan Sawan, di Kubugembong, Anturan, Kecamatan / Kabupaten Buleleng (yang penulis tahu). Sementara lokasi kuburan missal lainnya, menurut catatan di Desa Rendang dan Nongan Kabupaten Karangasem, di Pantai Masceti Kabupaten Gianyar, di Desa Kapal Kabupaten Badung. Umumnya mereka yang dibantai di Desa Kapal, adalah orang-orang yang ditahan, diambil, dan dikeluarkan dari kamar tahanan dan dibunuh.
Beberapa kali sempat menyaksikan peristiwa pembantaian yang diberondong dengan senjata api di kuburan massal Sangsit/Bungkulan. Ke lokasi kuburan missal pada malam hari saat itu, naik truk yang setiap desa diberi “jatah”. Di antara puluhan dan bahkan ratusan korban pembantaian yang diberondong senjata api jenis mixon maupun LE dimasukkan ke dalam ”lobang buaya”.
Di antara mereka, ada yang ditembak, belum mati lantas dibuang ke lubang dan ditimbun. Uniknya lagi seorang korban asal Kubutambahan yang tinggal di Kota Singaraja, ketika diberondong senjata mixen buatan Bandung tidak apa-apa, bahkan baju putihnya yang bergerak akibat tembakan itu. Namun, setelah ditembak dengan senjata LE milik tentara, tepat mengenai kepala pecah berhamburan, bahkan isi kepala berhamburan di antara masyarakat yang menyaksikan peristiwa pembantaian itu.
Sementara pembantaian lokal yang dilakukan oleh “pemuda” waktu itu, lokasinya di belakang Taman Bahagia (kini disebut Taman Pahlawan Curasthana) Singaraja. Masih dalam ingatan, ada tiga korban yang ditebas saat itu, begitu melewati tembok, mata korban disiram kapur bubuk sehingga tidak melihat siapa pelaku dan tidak bisa melawan.
Ada cerita unik diperjalanan pembantaian korban tragedi G.30.S/PKI saat itu. Seorang tokoh PKI dari Desa Banjar Tegal, Singaraja. Karena sudah tidak ada yang diajak menghuni kantor sosial di Jalan Dewi Sartika, depan Kantor Kejaksaan Negeri Singaraja itu, pagi-pagi dia pulang berjalan kaki.
Sampai di wilayahnya, barat Tugu Singa Ambara Raja sekarang, korban ini dituntun ke sebuah warung, dan diberikan minum kopi. Selanjutnya, dia diajak singgah ke rumahnya melihat anak-anaknya, hingga akhirnya digiring ke setra Banjar Adat Banjar Tegal.
Sebelum aksi pembantaian itu dilakukan, tokoh ”pemuda” itu minta agar sesuatu yang mungkin dirinya ”kebal” ditanggalkan. Tanpa suara dan suasana haru, tokoh politik palu arit ini membuka sabukannya yang ternyata isinya akar tanam-tanaman. Setelah itu, masih berdiri linglung, korban tragedi ini diminta menghadap arah barat, sehingga sabetan pedang tepat mengenai tengkuk dan jatuh di liang lahat yang sudah disiapkan.
Pulau Bali, termasuk Buleleng benar-benar bersimbah darah. Di seluruh Indonesia, dalam waktu beberapa bulan dari mulai Oktober 1965 sampai 3 bulan pertama 1966, menurut perkiraan umum ada sekitar 800 ribu sampai sejuta orang dibunuh dengan berbagai cara.
Tragedi G.30.S meninggalkan dampak trauma politik yang dihadapi masyarakat, termasuk akibat konflik yang terjadi pada Pemilu 1999 lalu. Trauma itu muncul sejak tragedi G-30-S/PKI tahun 1965, di mana banyak warga yang menjadi korban. Yang mencemaskan, trauma itu selalu meletus menjadi aksi perusakan tiap terjadi pemilihan u
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com