Dipertengahan Maret 2016 ini masih dalam suasana bulan Hari Pers Nasional
setelah puncak acara HUT Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang kelahirannya
tanggal 9 Februari telah diperingati di Kota Mataram, Lombok, NTB, yang
langsung dihadiri Presiden Jokowi.
Menyimak dunia pers patut diketahui di era tahun 1920-an sampai tahun
1950-an, bisa dikatakan masa gemilang intelektualitas Buleleng, Bali Utara.
Pada masa tersebut intelektual Buleleng bermunculan dan menerbitkan berbagai
jurnal kebudayaan, yaitu: Shanti Adnyana (1923), Bali
Adnyana (1924-1929), Surya Kanta (1925-1927),
Bhawanagara (1931-1935), Djatajoe (1936-1941), dan Bhakti
(1952-1954). Penerbitan tersebut adalah cikal-bakal pers Bali. Isi dan
pergolakan pemikiran yang termuat dalam jurnal dan majalah tersebut yang
menunjukkan visi kebudayaan mereka sangat reformis dan meloncat jauh ke depan.
Tweede
Klasse School, cikal bakal
pemikir Buleleng
Kalau kita cermati, cikal bakal kelahiran para intelektual Buleleng
adalah Tweede Klasse School. Sekolah dasar ini didirikan
tanggal 1 Agustus 1875, merupakan sekolah pertama di pulau Bali.
Selanjutnya Pemerintah Belanda mendirikan juga mendirikan Erste
Inlandsche School pada tahun 1913, dan diikuti dengan pembukaan
sekolah Belanda bernamaHollandsche Inlandsche School (HIS). Ketiganya di
Singaraja, Buleleng.
Setelah berselang 10 tahun dari pendirian Erste Inlandsche
School, atau 48 tahun setelah pendirian Tweede Klasse School,
tumbuh cukup banyak intelektual di Buleleng. Ini terbukti dengan munculnya
organisasi modern yang beranggotakan kaum terpelajar yang aktif melakukan
gerakan sosial.
Shanti
dan Shanti Adnyana, organisasi modern dan newsletter Buleleng 1923
Pada tahun 1923, lahir organisasi itu bernama Shanti. Sebuah
organisasi yang beranggotakan intelektual Buleleng yang menerbitkan kalawarta (newsletter)
bernamaShanti Adnyana, terbit bulanan memuat masalah pendidikan dan
Agama Hindu Bali (Agama Tirtha).
Terbitan ini disebarkan terutama di kalangan pegawai dan guru. Shanti bukan
hanya menerbitkan majalah, tapi juga merupakan sebuah organisasi pergerakan
yang bergerak di bidang sosial dan pendidikan, yang memperjuangkan pendidikan
bagi kaum perempuan. Pengurusnya antara lain: Ketut Nasa, Nyoman Kajeng, I
Gusti Putu Jlantik, dan I Gusti Putu Tjakra Tenaja. Ketika Ketut Nasa
mengundurkan diri dari Shanti Adnyana,kalawatra ini
berhenti terbit.
Tidak lama berselang, tanggal 1 Januari 1924, Shanti Adnyana berubah
menjadi Bali Adnyana, sebuah majalah yang terbit tiga kali sebulan
yaitu tiap tanggal 1, 10, dan 20, diasuh I Gusti Tjakratanaya dan I Gusti Ketut
Putra.
Ketut
Nasa yang berhenti dari Shanti Adnyana menghimpun
kawan-kawannya yang kebanyakan berprofesi sebagai guru dan tanggal 1 Oktober
1925 mendirikan Surya Kanta, menerbitkan majalah bulanan yang juga
bernama Surya Kanta, yang selanjutnya bersaing panas dengan
majalah Bali Adnyana.
Bali Adnyana berpikir
feodal, sementara Surya Kanta memperjuangkan persamaan hak dan
menentang feodalisme, mendukung sistem pendidikan Barat, mengetengahkan
reformasi adat dan upacara agama, membincangkan persoalan koperasi dan
kesejahteraan rakyat jelatah.
Mereka menentang kepemimpinan yang elitis dan feodal. Mereka menyambut
ide pembaharuan di Jawa dan para pemuda Indonesia di negeri Belanda, yang
mengutamakan lahirnya “bangsawan pikir” (menjadi terhormat dengan pendidikan
dan pemikiran), bukan sekedar “bangsawan darah” (minta dihormati dan menjabat
karena faktor kelahiran semata).
Monumen Pers Nasional Indonesia di Solo
Kemajuan
berpikir dan pergolakan kebudayaan Buleleng periode 1924-1927
Majalah Bali Adnyana mewarnai wajah Singaraja dengan
pemihakannya pada feodalisme dari tahun 1924 hingga tahun 1929. Majalah Surya
Kanta eksis menentang feodalisme dan menyajikan pemikiran reformis,
terbit dari Oktober 1925 sampai September 1927.
Tahun 1931 di Singaraja terbit majalah Bhawanagara. Majalah
ini berbahasa Melayu, diterbitkan Yayasan Kirtija Liefrinck van der
Tuuk. Majalah ini mendapat dukungan pemerintah kolonial, tahun 1931 terbit
edisi perdana Bhawanagara, dengan tebal 40 halaman. Dr. R.
Goris bersama I Gusti Putu Djlantik, I Gusti Gde Djlantik, I Nyoman Kadjeng,
dan I Wajan Ruma, menjadi redaktur majalah ini. Majalah ini punya tag-line: “soerat
boelanan oentoek memperhatikan peradaban Bali”
Bhawanagara yang tutup
pada tahun 1935 digantikan oleh kehadiran majalah kebudayaan bulanan Djatajoe.
Mulai terbit 1936, diterbitkan oleh organisasi bernama Bali Darma
Laksana. Kelahiran Djatajoe disebutkan dipengaruhi oleh
majalah Poedjangga Baroe, penuh dengan nuansa kesastraan dan
pemikiran kebudayaan yang lebih meng-Indonesia.
Pemimpin redaksi pertama Djatajoe adalah I Goesti
Nyoman Pandji Tisna, kemudian dipimpin oleh Nyoman Kajeng dan Wayan Badra.
Majalah ini terbit sampai 1941. I Goesti Nyoman Pandji Tisna kini terkenal
dengan novelnya Soekresni Gadis Bali; sampai kini terjemahan
kitab Sarasamuscaya oleh Nyoman Kajeng beredar dengan puluhan
kali cetak ulang; dan artikel-artikel Wayan Badra yang ditulis dalam bahasa
Belanda dimuat di berbagai jurnal kebudayaan nasional dan international yang
menunjukkan kaliber intelektualitasnya.
Gedung PWI Bali di Lumintang, Denpasar
Buleleng
periode 1950-an, periode multipartai
Pada periode tumbuhnya puluhan partai di Indonesia di bawah kepemimpinan
Soekarno, dua intelektual Singaraja, Putu Shanti dan Ketut Widjana menggagas
menerbitkan majalah Bhakti, dengan slogan: “Majalah untuk
Umum-non-Partai berdasarkan Pancasila”.
Putu Shanti sebagai penanggung jawab dan Ketut Widjana sebagai pemimpin
umum.” Majalah ini diterbitkan oleh Yayasan Kebhaktian Pejuang,
terbit selama 2 tahun, dari tahun 1952 sampai 1954. Dalam kurun waktu yang
bersamaan (1953 hingga 1955), I Gusti Bagus Sugriwa, tokoh dan intelektual
Bali asal Buleleng, menerbitkan Majalah Damai di Denpasar.
Kini jurnal kebudayaan semacam itu tidak ditemukan lagi di Buleleng.
Semenjak kepindahan pusat pemerintahan Bali dari Singaraja ke Denpasar. Meredup
pula “kadar intelektualitas Buleleng" (?)
Gedong
Kirtya, saksi bisu meredupnya intelektualitas Buleleng
Yang masih tertinggal di jantung kota Singaraja adalah sebuah pusat
naskah lontar dan buku-buku tua Bali bernama Gedong Kirtya, sebuah
perpustakaan tua yang didirikan tahun 1928, yang menyimpan ribuan halaman
pemikiran para intelektual Bali dari berabad-abad lalu (kurang lebih bentuk
3.000 lontar), prasasti-prasasti Bali Kuno, manuskrip kertas dalam
bahasa Bali dan huruf Romawi, termasuk dokumen-dokumen dari zaman kolonial
(1901-1953), juga majalah dan jurnal yang terbit di Buleleng (1920-1955).
Perpustakaan ini vacuum aktivitas kreatif dan terseok rawan bangkrut.
Banyak salinan lontar dan lontar asli yang dulu pernah tercatat ada di sana
kini tak jelas rimbanya. Jurnal-jurnal kebudayaan itu lenyap dalam
senyap.
Seiring dengan meredupnya “kadar intelektual” Buleleng, posisi strategis
Gedong Kirtya sebagai pusat kebudayaan sudah terlupakan.
Diabaikan. Buleleng kini lebih riuh dengan urusan kekuasaan yang “sepi
intelektualitas”, Pilkada dan kasak-kusuk politik internal pemerintahan di
Buleleng tampaknya telah menyita perhatian dan menjadi kegandrungan kaum
terpelajar Buleleng.
Kejayaan intelektualitas Buleleng yang pernah terjadi tahun 1920-an
hingga 1950-an hanyalah sebuah romantisme Buleleng.
Untuk diketahui, Dewan Pers menganugerahi gelar Perintis Pers Indonesia pada sebelas orang
tokoh yang dianggap berjasa bagi perkembangan pers
di tanah air (Soebagijo, 1976). Entah kebetulan atau tidak, kesebelas
tokoh tersebut mulai merintis dunia pers di
tanah air sejak akhir tahun 1800-an hingga menjelangkemerdekaan.
Mereka adalah dr. Abdul Rivai, Raden Bakrie
Soeraatmadja, R.M.Bintarti, dr. Danudirja Setiabudhi, R. Darmosoegito, R.M.
Tirtohadisoerjo,Djamaludin Adinegoro, dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangie,
R.M. SoedarjoTjokrosisworo, Soetopo Wonobojo, dan Raden Taher Tjindarboemi.
~ Made Tirthayasa ~
* Sumber Bank Data Bali Post, beberapa tahun lalu.
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com