Buleleng,
Dewata News.com — Hasil paruman
atau pertemuan Sulinggih se-Badung bersama MMDP, MADP dan Bendesa Adat
se-Badung, terkait pelaksanaan Nyepi tahun Caka 1938 yang jatuh pada 9 Maret
2016 mendatang, menyatakan akan dilaksanakan berbeda.
Perbedaan itu, di antaranya, meniadakan upacara tawur kesanga dan pemelastian
yang biasa dirangkai dengan pelaksanaan Nyepi. Kedua upacara tersebut akan
dilaksanakan pada Sasih Kedasa sesuai
dengan isi Lontar Swamandala.
Hal ini dikarenakan pelaksanaan Nyepi berada pada nguncal walung atau
rentang waktu mulai hari Galungan 10 Pebruari (Buda Kliwon Dunggulan) sampai 16 Maret (Buda Kliwon Paang) 2016.Namun hasil paruman itu, hingga saat ini
masih menunggu keputusan pasti. Pasalnya, hasil paruman ini akan disampaikan ke
tingkat Provinsi Bali.
Terkait kemungkinan peniadaan tawur kesanga jelang Nyepi itu, ditanggapi
tokoh agama yang juga sekaligus pembuat kalender Bali di Buleleng, Gede
Marayana.
Menurut Marayana, pelaksanaan tawur
kesanga dan Nyepi merupakan satu rangkaian dalam pelaksanaan Hari Raya
Nyepi di Bali.
Ketua Listibiya Kabupaten Buleleng ini menegaskan, pelaksanaan tawur kesanga tidak bisa digeser, dan
mesti dilakukan pada Tilem Kesanga.
Kalau pelaksanaan tawur itu digeser,
nanti tatanan upacara Nyepi akan rancu. Kalau pemelastian itu diundur, itu
sah-sah saja tergantung versi masing-masing, ini tidak masalah, tegas Marayana
di Singaraja, Senin (25/01).
Marayana mengatakan, pemahaman yang berbeda ini sudah diprediksinya
sejak 2009, melalui seminar untuk menemukan satuan pendapat. Bahkan diakuinya, nguncal walung ini sempat terjadi pada
2001, 2005, dan 2009. Pada tahun 2009, sempat ini dipermasalahkan oleh
pemerhati.
”Saat itu, karena saya mengetahui persis, kemudian saya angkat masalah
ini melalui seminar. Saya mengkajinya melalui perspektif wariga dan itu sudah disepakati dengan PHDI Bali. Bahkan pada 2024
juga akan seperti ini, ada nguncal walung.
Jadi, ini sudah pernah terjadi sebelumnya, ujar Marayana.
Ia pun meminta, agar yang mengemukakan pendapat perbedaan ini, tidak
mengacu pada satu lontar saja. Pasalnya, menurut dia, masih banyak lontar
lainnya yang tidak memiliki makna perbedaan dari yang sesungguhnya ini.
”Ini harus dilakukan pembahasan lagi secara dalam. Janganlah, berpacu
pada satu lontar saja. Saya tidak katakan itu salah atau bagaimana, tapi di
sini hanya pemahaman saja yang berbeda, dan ini harus diluruskan secara
bersama-sama melalui Paruman Agung,” tegas Gede Marayana. (DN ~ TiR).—
No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com