Buleleng,
Dewata News.com — Sekitar 37 KK
dari Banjar Adat Lebah, Dusun Batu Dinding, Desa Pegadungan, Kecamatan
Sukasada, Buleleng, Bali mendapatkan intimidasi dari Pemerintah Desa
Pegadungan.
Bukan hanya intimidasi yang mereka terima, tetapi ke-37 KK ini juga
mendapat tindakan diskriminasi dari Kepala Desa (Kades) Pegadungan. Sebagai bukti,
mereka itu tidak mendapat pelayanan administrasi dari Kades, seperti akta
perkawinan maupun akta kelahiran yang merupakan hak dasar seorang warga negara.
Akibat ulah tidak terpuji Kades Pegadungan itu, sedikitnya 13 KK memilih
hengkang dari Desa Pegadungan dan pindah ke desa lainnya untuk memperoleh akta
dan pengakuan sebagai warga. Sedangkan 24 KK lainnya masih tetap bertahan,
kendati terus diperlakukan tidak adil dan terus mendapatkan intimidasi dari
pemerintahan desa setempat.
Sementara itu, tindakan Kades
Pegadungan yang dinilai melanggar HAM itu sudah ke Camat Sukasada beberapa
waktu, namun tidak mendapat tanggapan seperti yang diharapkan warga yang
menjadi korban Kades otoriter itu.
Kelian Banjar Adat Lebah, Putu Suwela mengatakan, warga Banjar Adat
Lebah yang awalnya sebanyak 37 KK merupakan banjar adat yang tercecer. Bahkan
Pemerintah Desa Pegadungan tidak mengakui mereka sebagai warga Pegadungan.
Menurut Suwela, mereka disebut-sebut warga Desa Adat Pumahan, Desa
Gitgit, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Padahal, berdasarkan administrasi, warga berada
di wilayah Dusun Batu Dinding, Desa Pegadungan.
”Kondisi kami sangat terisolisasi. Atas kesepakatan krama Banjar Adat
Lebah, kami telah menjadi bagian dari Desa Adat Pumahan, Desa Gitgit. Sedangkan
wilayah kami ada di Banjar Dinas Batu Dinding, Desa Pegadungan, Kecamatan
Sukasada, maka kami merupakan bagian dari Desa Adminitrasi Pemerintah Desa
Pegadungan. Namun, kami selama ini tidak mendapatkan pelayanan yang layak,” papar
Suwela, Minggu (06/03).
Sementara itu, Made Teja yang mantan anggota Fraksi PDIP
DPRD Buleleng, yang selama ini mendampingi warga menilai, pemerintah desa tidak
seharusnya bersikap diskriminatif seperti itu.
Ia pun menduga, kejadian ini terjadi karena
ada campur tangan Perbekel Desa Pegadungan, yang mantan Klian Banjar Adat Batu
Dinding.
“Masyarakat tidak dapat pelayanan
akta dari Pemerintah Desa, dengan alsan mereka itu tidak medesa Pakraman
Pegadungan, melainkan di Desa Adat Pumahan. Kasihan anak-anak sekolah
membutuhkan akta kelahiran dan yang kerja juga membutuhkan akta perkawinan.
Disana mentok, sehingga menimbulkan keresahan sosial,” jelas mantan Ketua Dewan
Kehormatan DPRD Buleleng ini.
Dengan tidak mendapat tanggapan dari Camat Sukasada, terkait surat yang
dilayangkan warga itu, menurut Made Teja, warga berencana akan kembali bersurat ke
Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana,, tanggal 11 Maret 2016 mendatang. (DN ~
TiR).—
Ne di bali aja antara sesama saling gigit.....gimana mau bersatu... Apa tdk ada kesalahan yg bs dimaafkan...mari kita bergandengan tangan. Suka tdk suka. Baik buruk toh sesama warga bali.....kurangi ego kita utk bs wujudkan ketentraman dlm masy.
ReplyDelete