Gianyar, dewatanews.com - Setiap kali musim panen tiba di Desa Tegallalang, aroma khas jerami kering yang terbakar sering kali menyapa udara sore. Asap tipis mengepul dari sawah-sawah yang baru saja selesai digarap. Pemandangan itu seolah sudah menjadi bagian dari siklus kehidupan petani seperti hujan yang datang setelah kemarau. Namun, di balik kebiasaan yang tampak sederhana itu, tersimpan persoalan yang tak bisa dianggap remeh ,pembakaran jerami, yang selama ini dianggap sebagai cara cepat dan mudah membersihkan lahan, ternyata membawa dampak yang cukup serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Sebagai daerah yang terkenal dengan keindahan teraseringnya, Tegallalang tak hanya menjadi ikon pariwisata Bali, tetapi juga pusat kegiatan pertanian padi yang cukup produktif. Di sinilah dilema mulai muncul. Petani yang masih memegang tradisi lama sering kali memilih membakar jerami karena alasan praktis cepat, murah, dan tidak memerlukan tenaga tambahan. Dengan membakar jerami, lahan bisa segera digarap kembali untuk musim tanam berikutnya.
Dalam konteks efisiensi waktu, hal ini bisa dimaklumi. Namun, jika ditinjau dari sisi keberlanjutan lingkungan, kebiasaan itu justru menjadi ironi di tengah gencarnya kampanye pertanian ramah lingkungan yang digaungkan pemerintah. Asap dari pembakaran jerami memang cepat hilang ditiup angin, tetapi dampak ekologisnya tidak serta-merta lenyap. Abu yang tersisa di permukaan tanah hanya memberikan sedikit unsur hara, sementara sebagian besar karbon organik justru terlepas ke atmosfer dalam bentuk gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄).
Selain itu, pembakaran juga mematikan organisme tanah yang berperan penting dalam menjaga kesuburan dan struktur tanah. Dalam jangka panjang, tanah bisa menjadi keras, miskin unsur organik, dan menurunkan produktivitas lahan.
Saya sempat berbincang dengan salah satu petani di Banjar Kelodan, Tegallalang, yang bernama Pak Wayan. Ia mengatakan dengan nada jujur, Kalau tidak dibakar, jeraminya banyak sekali. Mau dibenamkan susah, lama busuknya. Traktor pun kadang tidak kuat kalau terlalu tebal. Ungkapan itu mencerminkan persoalan yang cukup kompleks. Bukan karena petani tidak peduli lingkungan, tapi lebih karena keterbatasan alat, waktu, dan pengetahuan tentang alternatif pengelolaan limbah pertanian.
Masalahnya semakin pelik karena kebijakan di tingkat lokal belum sepenuhnya berpihak pada solusi berkelanjutan. Program pengelolaan limbah pertanian sering kali berhenti di tataran sosialisasi tanpa tindak lanjut yang nyata. Padahal, jerami bukanlah sampah. Jika dikelola dengan benar, jerami dapat menjadi sumber daya yang sangat berharga: bahan kompos, pakan ternak, mulsa organik, bahkan bahan bakar alternatif seperti briket bioenergi.
Sejumlah kelompok tani muda di beberapa daerah lain di Bali telah mencoba membuat pupuk organik dari jerami menggunakan teknologi sederhana seperti dekomposer cair. Prosesnya relatif mudah: jerami dicacah, disiram larutan dekomposer, lalu ditutup rapat selama dua minggu. Hasilnya berupa kompos yang dapat memperbaiki struktur tanah dan menghemat penggunaan pupuk kimia. Namun, di Tegallalang, praktik ini belum begitu populer. Banyak petani yang belum melihat nilai ekonomi dari jerami karena belum ada sistem pendampingan yang kuat dan berkelanjutan.
Di sinilah pentingnya peran pemerintah desa dan penyuluh pertanian. Edukasi tentang pengelolaan limbah harus dilakukan dengan pendekatan yang membumi bukan sekadar teori teknis. Petani perlu diajak berdialog, bukan digurui. Jika mereka paham bahwa jerami dapat menjadi sumber keuntungan, kebiasaan membakar akan perlahan ditinggalkan. Misalnya, jerami dapat dijual kepada peternak sebagai bahan pakan, atau diolah bersama kelompok tani menjadi pupuk padat yang bisa dipasarkan ke desa-desa sekitar.
Lebih jauh lagi, pembakaran jerami di Tegallalang tidak hanya berdampak pada pertanian, tetapi juga pada pariwisata. Asap yang mengepul dari hamparan sawah bisa merusak citra estetika lanskap yang selama ini menjadi daya tarik wisatawan. Tidak sedikit wisatawan yang mengeluhkan aroma asap yang menyengat saat berkunjung di musim panen. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin keindahan Tegallalang yang selama ini menjadi kebanggaan warga bisa ternoda oleh kebiasaan yang sebenarnya bisa diubah.
Ketika kita berbicara tentang perubahan perilaku petani, sering kali muncul pertanyaan: mengapa sesuatu yang tampak sederhana seperti berhenti membakar jerami begitu sulit dilakukan? Jawabannya tidak sesederhana petani malas atau tidak mau berubah.
Dalam banyak kasus, kebiasaan itu terbentuk dari kombinasi antara tradisi turun-temurun, keterbatasan fasilitas, dan tekanan ekonomi.
Bayangkan, setelah berbulan-bulan bekerja di sawah, petani ingin segera menyiapkan lahan baru agar tidak tertinggal musim tanam. Mereka tidak punya banyak waktu untuk menunggu jerami terurai secara alami. Belum lagi, biaya tambahan untuk mengangkut, mencacah, atau mengomposkan jerami dianggap terlalu besar dibandingkan manfaat jangka pendeknya. Akhirnya, api menjadi solusi tercepat yang tampak “aman” bagi mereka.
Namun di balik kenyamanan semu itu, dampaknya semakin terasa. Beberapa warga di sekitar Tegallalang mulai mengeluh soal gangguan pernapasan, terutama pada anak-anak dan lansia. Asap hasil pembakaran jerami memang tidak berlangsung lama, tetapi partikelnya bisa menyebar ke udara dan mencemari lingkungan sekitar. Selain itu, risiko kebakaran liar meningkat, apalagi di musim kemarau ketika angin bertiup kencang.
Dari sisi ekologis, pembakaran jerami juga mempercepat degradasi tanah. Banyak penelitian menunjukkan bahwa mikroorganisme tanah, seperti cacing dan bakteri pengurai, sangat sensitif terhadap panas. Sekali lapisan tanah atas rusak, butuh waktu lama untuk memulihkannya. Ini berarti produktivitas lahan bisa menurun tanpa disadari, dan petani harus menambah dosis pupuk kimia agar hasil tetap sama yang tentu saja meningkatkan biaya produksi.
Sayangnya, belum banyak penelitian lokal yang mendokumentasikan dampak ekonomi jangka panjang dari kebiasaan ini di wilayah seperti Tegallalang. Padahal, data semacam itu bisa menjadi dasar kebijakan yang kuat. Pemerintah daerah dan lembaga akademik seharusnya dapat bekerja sama untuk mengadakan kajian berbasis lapangan, sekaligus mendesain program pendampingan yang sesuai dengan karakter sosial masyarakat setempat.
Evaluasi Kebijakan dan Pendekatan Lapangan
Selama ini, upaya pengelolaan limbah pertanian di Bali masih bersifat sporadis. Beberapa desa sudah mulai membuat program Desa Hijau atau Pertanian Organik Terpadu, tetapi belum menyentuh akar permasalahan perubahan perilaku petani kecil. Tegallalang, dengan keunikan topografinya dan kepadatan aktivitas wisata, sebenarnya bisa menjadi contoh desa percontohan untuk pengelolaan limbah berbasis komunitas.
Masalah utama bukan pada kurangnya informasi, melainkan lemahnya sistem dukungan. Misalnya, petani yang ingin mencoba mengolah jerami menjadi kompos sering kali tidak memiliki alat pencacah jerami atau lahan khusus untuk fermentasi. Bantuan pemerintah pun terkadang datang tanpa pendampingan yang berkelanjutan, sehingga alat-alat tersebut berakhir menumpuk di gudang kelompok tani.
Selain itu, koordinasi antar pihak juga masih minim. Penyuluh pertanian, perangkat desa, dinas lingkungan hidup, dan kelompok petani jarang duduk bersama untuk merancang strategi pengelolaan limbah yang terpadu. Padahal, kolaborasi semacam itu sangat penting. Misalnya, dinas lingkungan bisa membantu menyediakan pelatihan dan alat, sementara kelompok tani bertugas mengimplementasikan dan menjaga kesinambungan programnya.
Rekomendasi: Dari Jerami Menjadi Energi dan Pupuk
Untuk keluar dari lingkaran pembakaran jerami, diperlukan solusi yang realistis, bukan sekadar imbauan. Beberapa langkah yang bisa diterapkan di Desa Tegallalang antara lain:
1. Mendorong pengolahan jerami menjadi kompos organik.
Dengan bantuan dekomposer cair lokal, jerami bisa terurai dalam waktu 2–3 minggu saja. Kompos yang dihasilkan dapat digunakan sendiri atau dijual ke petani lain. Pemerintah desa dapat memfasilitasi unit kecil Rumah Kompos di setiap banjar agar pengelolaan limbah menjadi lebih terorganisir.
2. Pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak.
Jerami sebenarnya mengandung serat yang baik untuk pakan sapi dan kambing, terutama jika difermentasi menggunakan teknologi sederhana seperti silase. Ini bisa menambah nilai ekonomi bagi petani sekaligus mengurangi limbah di sawah.
3. Pengembangan energi alternatif dari jerami.
Jerami bisa diolah menjadi briket biomassa atau bahan bakar biogas. Inovasi semacam ini sudah dilakukan di beberapa daerah di Jawa Tengah dan NTB, dan terbukti mampu menekan biaya energi rumah tangga. Tegallalang dengan komunitas petaninya yang solid,
bisa menjadi pionir model ekonomi sirkular desa.
4. Edukasi dan kampanye publik.
Penyuluh dan mahasiswa pertanian bisa bekerja sama membuat program sosialisasi di sekolah, banjar, dan kelompok tani. Jika masyarakat memahami bahwa pembakaran jerami bukan sekadar urusan sawah, tetapi juga udara yang mereka hirup dan kesehatan anak-anak mereka, perubahan akan lebih mudah diterima.
5. Membangun sistem insentif.
Pemerintah desa dapat memberikan insentif atau penghargaan kepada petani yang mengolah jerami tanpa dibakar misalnya potongan biaya sewa traktor atau prioritas bantuan pupuk organik. Langkah kecil seperti ini bisa memotivasi petani untuk mengubah kebiasaan lama.
Menuju Pertanian yang Lebih Bijak dan Berkelanjutan
Desa Tegallalang memiliki potensi besar untuk menjadi contoh desa hijau di Bali. Kombinasi antara kekayaan alam, kesadaran budaya, dan keterlibatan masyarakat bisa menjadi modal penting untuk mengubah wajah pertanian tradisional menjadi lebih modern dan ramah lingkungan.
Perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam. Namun, setiap langkah kecil memiliki makna. Saat satu petani memutuskan untuk tidak membakar jerami, ia sebenarnya sedang ikut menjaga keseimbangan udara, kesuburan tanah, dan kesehatan komunitasnya. Jika satu banjar mempraktikkan hal yang sama, dampaknya akan terasa secara kolektif ,sawah menjadi lebih subur, udara lebih bersih, dan citra wisata Tegallalang semakin positif.
Sebagai generasi muda, kita pun memiliki tanggung jawab moral untuk tidak hanya menyoroti persoalan ini dari kejauhan. Mahasiswa, aktivis lingkungan, dan masyarakat desa dapat berkolaborasi membangun proyek nyata ,misalnya pelatihan pengomposan jerami, lomba inovasi limbah pertanian, atau penulisan cerita visual tentang petani yang berhasil beralih ke sistem ramah lingkungan.
Pada akhirnya, pengelolaan limbah pertanian bukan sekadar urusan teknis, melainkan cerminan nilai-nilai kemanusiaan: bagaimana kita memperlakukan alam yang memberi kita kehidupan. Api mungkin bisa membersihkan lahan dalam sekejap, tetapi api juga bisa menghapus kesuburan tanah yang telah dijaga turun-temurun.
I Putu Jambe Agustiana
Agroteknologi, Fakultas Pertanian Sains dan Teknologi
Universitas Warmadewa

No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com