Jerami Padi: Limbah yang Terlupakan di Desa Buduk - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

11/9/25

Jerami Padi: Limbah yang Terlupakan di Desa Buduk


Badung, dewatanews.com - Desa Buduk di Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, dikenal sebagai salah satu wilayah yang masih mempertahankan tradisi bertani di tengah derasnya arus urbanisasi. Hamparan sawah yang tersisa menjadi saksi bahwa pertanian masih hidup di hati sebagian besar masyarakatnya. Namun, di balik keberhasilan panen padi yang rutin setiap musim, tersimpan satu persoalan yang seolah dibiarkan berulang: limbah jerami padi.

Setiap kali panen selesai, jerami kering menumpuk di tepi sawah, kemudian dibakar untuk “membersihkan” lahan. Asap mengepul ke udara, menutupi langit sore di Desa Buduk. Bagi sebagian petani, ini sudah menjadi pemandangan biasa, bahkan dianggap bagian tak terpisahkan dari siklus pertanian. Namun di balik kebiasaan itu, terdapat masalah lingkungan yang serius dan potensi ekonomi yang terbuang percuma. Jerami yang dianggap limbah sebenarnya adalah sumber daya bernilai tinggi yang selama ini terlupakan.

Selama ini, jerami padi di Desa Buduk diperlakukan sebagai limbah yang harus segera disingkirkan. Setelah gabah diambil, jerami dibiarkan mengering lalu dibakar agar lahan cepat siap ditanami kembali. Alasan utama petani sederhana: cara ini cepat, murah, dan tidak butuh tenaga tambahan. Padahal, di balik kemudahan itu, pembakaran jerami justru menimbulkan kerugian besar. Setiap satu ton jerami yang dibakar, sekitar 1.500 kilogram karbon dioksida dilepaskan ke udara, memperburuk kualitas lingkungan dan menambah emisi gas rumah kaca. Unsur hara penting seperti nitrogen dan fosfor ikut hilang, membuat tanah makin miskin nutrisi. Dalam jangka panjang, kesuburan lahan menurun dan ketergantungan pada pupuk kimia semakin tinggi.

Bagi warga yang tinggal di sekitar sawah, asap pembakaran juga menjadi gangguan tersendiri. Polusi udara dapat menimbulkan gangguan pernapasan, terutama bagi anak-anak dan lansia. Artinya, tindakan yang terlihat sederhana itu membawa dampak lingkungan dan kesehatan yang tidak sebanding dengan manfaatnya.

Masalah limbah jerami di Desa Buduk tidak hanya soal kebiasaan, tapi juga keterbatasan pengetahuan dan sarana. Banyak petani belum tahu bahwa jerami sebenarnya bisa dimanfaatkan menjadi kompos organik, pakan ternak fermentasi (silase), media jamur merang, briket bioenergi, bahkan bahan baku kerajinan tangan.

Sayangnya, informasi dan pelatihan pengolahan limbah pertanian masih sangat terbatas. Desa Buduk belum memiliki alat-alat pengolahan sederhana seperti mesin pencacah jerami (chopper), fermentor kompos, atau fasilitas penyimpanan limbah pertanian. Tanpa dukungan teknologi tepat guna, petani cenderung memilih jalan paling mudah: membakar.

Selain itu, belum ada kebijakan desa yang secara khusus mengatur pengelolaan limbah pertanian. Tidak ada larangan membakar jerami, tidak ada insentif bagi petani yang mau mengolahnya. Akibatnya, pengelolaan limbah jerami berjalan tanpa arah, bergantung pada inisiatif pribadi dan niat baik sebagian kecil petani. Jika ditinjau dari sisi ekonomi, potensi jerami padi sangat besar. Dari satu hektare sawah, petani bisa menghasilkan empat hingga enam ton jerami kering. Bila diolah menjadi pakan ternak, nilainya bisa mencapai jutaan rupiah per musim. Bila dijadikan kompos, petani bisa menghemat biaya pembelian pupuk kimia.

Namun, potensi ini belum tersentuh di Desa Buduk. Minimnya pelatihan dan pendampingan membuat petani kesulitan memanfaatkan limbahnya sendiri. Padahal di daerah lain, seperti di Kabupaten Tabanan atau Gianyar, kelompok tani sudah berhasil memanfaatkan jerami sebagai bahan kompos dan pakan sapi, bahkan menjadikannya usaha kecil menengah.

Dari sisi sosial, masyarakat Desa Buduk sejatinya memiliki modal sosial yang kuat: semangat gotong royong. Tradisi kerja kelompok dalam sistem subak seharusnya bisa menjadi fondasi untuk pengelolaan limbah jerami bersama. Sayangnya, hingga kini belum ada inisiatif kelembagaan yang mengarahkan potensi sosial ini ke arah pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan.

Permasalahan limbah jerami sebenarnya bukan hanya tanggung jawab petani. Pemerintah desa, dinas pertanian, dan lembaga lingkungan hidup juga memiliki peran besar. Tanpa dukungan kebijakan, petani sulit berubah. Selama ini, program pertanian di tingkat desa lebih banyak fokus pada produktivitas dan hasil panen, bukan pada pengelolaan limbah. Padahal, keberlanjutan pertanian tidak hanya diukur dari seberapa banyak padi yang dihasilkan, tetapi juga dari bagaimana limbahnya dikelola.

Desa Buduk perlu memiliki kebijakan lingkungan yang jelas, seperti Peraturan Desa (Perdes) tentang Pengelolaan Limbah Pertanian, yang melarang pembakaran jerami di lahan terbuka. Kebijakan ini bisa diiringi dengan insentif, misalnya pemberian pupuk organik gratis bagi petani yang mengolah jerami, atau bantuan alat pengolahan dari dana desa.

Ada beberapa langkah nyata yang bisa dilakukan untuk keluar dari permasalahan ini:

1. Edukasi dan Penyuluhan Petani
Pemerintah desa bersama penyuluh pertanian perlu rutin memberikan pelatihan tentang pemanfaatan jerami. Edukasi yang tepat akan mengubah cara pandang petani bahwa jerami bukan sampah, melainkan sumber daya.

2. Pembentukan Kelompok Pengelola Limbah Pertanian
Desa dapat membentuk kelompok khusus yang bertugas mengumpulkan, mengolah, dan memasarkan produk olahan jerami. Dengan sistem gotong royong, biaya dan tenaga bisa dibagi, sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi pemuda desa.

3. Dukungan Teknologi Tepat Guna
Pemerintah daerah bisa menyalurkan alat pengolahan sederhana seperti chopper dan mesin pembuat kompos. Dengan peralatan yang memadai, petani bisa memproses jerami lebih efisien dan mengurangi pembakaran.

4. Kebijakan Desa Ramah Lingkungan
Desa Buduk perlu mengalokasikan dana desa untuk program pengelolaan limbah pertanian berkelanjutan. Perdes ramah lingkungan bukan sekadar aturan, tapi wujud nyata komitmen desa terhadap kelestarian lingkungan.

5. Kemitraan dengan Pihak Swasta dan Akademisi
Pemerintah desa dapat bekerja sama dengan universitas, LSM, atau perusahaan lokal untuk mengembangkan inovasi produk berbasis jerami, seperti biokompos atau briket bioenergi. Kolaborasi ini juga membuka akses pasar yang lebih luas bagi produk hasil olahan petani.

Mengubah cara pandang terhadap jerami adalah langkah pertama menuju pertanian berkelanjutan. Ketika petani menyadari bahwa jerami bisa menjadi sumber tambahan penghasilan, motivasi untuk mengolahnya akan tumbuh dengan sendirinya. Jerami padi yang selama ini dibakar dapat disulap menjadi pupuk organik untuk memperbaiki struktur tanah, menjadi pakan ternak yang mengurangi biaya pakan, bahkan menjadi bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan. Di tengah meningkatnya kesadaran terhadap isu perubahan iklim, langkah kecil seperti ini menjadi sangat berarti. Desa Buduk memiliki modal sosial yang kuat, budaya gotong royong yang hidup, dan semangat kolektif dalam menjaga tradisi. Jika kekuatan itu diarahkan untuk mengelola jerami secara bijak, maka desa ini bisa menjadi contoh nyata transformasi pertanian berkelanjutan di Bali.

Jerami padi seharusnya tidak lagi dipandang sebagai limbah, melainkan sumber daya terbarukan yang bernilai ekonomi dan ekologis tinggi. Pembakaran jerami mungkin tampak praktis, tetapi dampak jangka panjangnya justru merugikan petani dan lingkungan. Sudah saatnya Desa Buduk menulis babak baru dalam sejarah pertaniannya dari desa yang membakar jerami, menjadi desa yang mengolah dan memanfaatkannya. Perubahan itu memang tidak bisa terjadi dalam semalam, tapi dengan kebijakan yang berpihak pada lingkungan, dukungan teknologi, dan semangat gotong royong masyarakat, cita-cita menuju pertanian hijau bukanlah hal mustahil. Karena sejatinya, pertanian sejati bukan hanya tentang menanam dan memanen, tetapi juga tentang menjaga bumi tempat kita menanam.

Penulis : I Made Angga Prawira
Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Warmadewa

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com