54 Tahun Tragedi Berdarah Akibat Perbuatan Makar PKI - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

10/1/19

54 Tahun Tragedi Berdarah Akibat Perbuatan Makar PKI


Limapuluh empat tahun berlalu, merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Tragedi berdarah….iya peristiwa berdarah akibat perbuatan ”Makar” DN Aidit yang mengendalikan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan politik adu domba memecah keutuhan ABRI, partai berlambang ”Palu Arit” ini dengan semangat ”genjer-genjer” yang digelorakan Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat) mengambil alih kekuasaan Presiden Ir.Soekarno.

Tragedi G30/S-PKI atau Gestok (Gerakan 1 Oktober) dan peristiwa lainnya sebelum 1965 merupakan upaya politik makar terhadap negara. Karena itu tindakan pemerintah saat itu bisa dibenarkan.

Kenapa? Karena telah terjadi perbedaan secara ideologis politis yang merujuk pada makar, sehingga menunjukkan kemunduran dan kerugian besar bagi bangsa Indonesia.

Selaku Pimpinan CC PKI, DN Aidit berhasil ”membelah” persatuan dan kesatuan ABRI, sehingga nyelusup di Istana Presiden.

Peristiwa berdarah ini kemudian dikenal dengan Gerakan 30 September ~ G30/S-PKI karena meletusnya tragedi berdarah yang dilancarkan PKI ini terjadi pada tanggal 30 September 1965.

Dampaknya? Tragedi berdarah ini tidak saja ”meletus” di Ibukota Jakarta. Melainkan, pemberontakan yang dilakukan PKI yang mempunyai keanggotaan hingga ke pelosok pedesaan di seluruh Indonesia, termasuk Bali dan Buleleng khususnya.

Apa yang terjadi di daerah Buleleng, khususnya Kota Singaraja dan sekitarnya saat terjadinya G.30.S/PKI masih terngiang di benak penulis. Karena berbagai kejadian dalam gerakan penumpasan PKI dan antek-anteknya secara langsung dilihat dan disaksikan.

Betapa kejinya manusia sebagai ciptaan Tuhan, tak mengenal lagi saudara dan sebagainya. Mungkin juga bisa sebaliknya, jika pemberontakan G30/S-PKI berhasil akan lebih keji lagi. Ini bisa dibuktikan, ketika serentetan pembunuhan para jenderal dari yang dilakukan oleh Pemuda Rakyat dan Gerwani, termasuk ”saudara sepupunya” Partindo, hingga dibuang ke sebuah lubang yang selanjutnya dikenal dengan Lubang Buaya.

Gagalnya pemberontakan G30/S-PKI ini akhirnya ”mengaca” dengan perbuatannya. Seperti halnya peristiwa pembantaian sejumlah tokoh maupun ”orang-orang” PKI.

Untuk di Buleleng, Bali, markas PKI yang kini sebagai ”Partai Terlarang” ada di wilayah Desa Banjar Tegal, Jalan Pahlawan, Singaraja. Masyarakat menyebutnya di umahe tegeh yang kini asetnya sudah terjual habis oleh pewarisnya, berubah menjadi Puri.

Sebagai pusat gerakan yang dilakukan antek-antek PKI terendus oleh para Pemuda Marhaenis, yang merupakan organisasi sayap Partai Nasional Indonesia (PNI), selain Wanita Marhaenis. Tidak kalah gencarnya dalam gerakan pemberantasan PKI beserta antek-anteknya, yakni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI).

Karena PKI waktu itu mempunyai CGMI (Corp Gerakan Mahasiswa Indonesia) maupun IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia).

Lubang Buaya Bungkulan
Ketika pemberontakan G30/S-PKI di Kota Metropolitan, Jakarta mempunyai Lubang Buaya sebagai tempat pembuangan jenazah para jenderal, di Buleleng juga memiliki.

”Lubang buaya” ini untuk mayat para pemberontak, PKI dan antek-anteknya. Lokasi ”Lubang Buaya” ini di kawasan Bungkulan, yang sejatinya saat ini ternyata masuk wilayah Desa Giri Emas, Kecamatan Sawan yang kini telah berdiri megah Rumah Sakit Pratama.

Tempat pembantaian yang dilakukan para Pemuda Marhaenis (yang penulis tau dan lihat langsung), selain di wilayah Bungkulan itu, juga di belakang Taman Bahagia (Taman Makam Pahlawan Curasthana), dan wilayah Kubugembong, simpang empat Desa Anturan ke arah pantai (kini Pos Polisi Perairan).

Di ”Lubang Buaya” Bungkulan, puluhan atau mungkin ratusan jenazah ”dibuang”ke dalam sumur yang lumayan besar. Pembantaian di ”Lubang Buaya” ini dilakukan oleh jajaran TNI-Polri pada malam hari, setelah mereka mengambil korban pembantaian ini di sebuah gedung kantor milik Depsos, depan kantor Kejaksaan Negeri Singaraja, di Jalan Dewi Sartika.

Masih terlintas di benak ingatan, saat itu jajaran Polri yang mendapat tugas dengan menggunakan senjata api bikinan Bandung. Sehingga ada, di antara korban pembantaian ini tidak tembus peluru, sementara dari jajaran TNI (anggota Yonif 741/SBW) dengan senjata api jenis L.E. Dengan sekali tembak, bagian punggung atau kepala korban berhamburan. Bahkan, penulis malam itu yang ada disisi timur para korban kena muncratan berhamburannya isi kepala korban.

Kita semua, bangsa Indonesia pasti punya rasa prihatin atas jatuhnya korban dalam peristiwa 1965. Karena itu, sudah sepatutnya seluruh bangsa Indonesia dengan mengedepankan ideologi Pancasila. Seluruh elemen warga negara untuk bersama-sama merajut kerukunan bangsa agar peristiwa tersebut tidak terulang lagi di masa kini dan masa yang akan datang.
Betapa pentingnya sejarah bagi sebuah bangsa dan negara, Bung Karno pernah mengatakan, ”Jangan sesekali melupakan sejarah.” Ungkapan ini bukan sekadar penting, melainkan juga menentukan perjalanan dan nasib dari masa depan suatu bangsa dan negara.

Generasi milenial boleh eksis dengan kompetensi yang dimiliki, bahkan hingga tingkat global. Namun, tanpa pemahaman sejarah yang memadai, mereka hanya akan menjadi anak-anak bangsa yang tahu bagaimana mendapat keuntungan bagi dirinya dan keluarganya.

Mereka tidak mengerti bagaimana menjadi anak bangsa yang siap membela kepentingan Tanah Air, disebabkan mereka tidak mengerti amanat penderitaan rakyat.

Karena itu, gerakan menyadarkan kaum milenial akan sejarah bangsa adalah tugas bersama.   ~ Made Tirthayasa ~

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com