Mengabaikan Produksi Pertanian: Menjadi Merkantilis di Daerah Sendiri - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

3/14/19

Mengabaikan Produksi Pertanian: Menjadi Merkantilis di Daerah Sendiri


Oleh: Dr. Made Metera, M.Si

Profesi yang paling cepat menghasilkan uang adalah pedagang. Kalau sudah mempunyai uang semua kebutuhan, primer, sekunder, dan tersier bisa terpenuhi. Tentu juga tergantung pada kuantitas uang yang dimiliki.

Rupanya paham itulah yang dianut sebagian orang saat ini. Setidaknya fenomena itu yang bisa diamati. Sedikit saja ada ruang kosong yang banyak dilewati atau dikunjungi orang, maka segera akan dimanfaatkan oleh pedagang.

Tempat olah raga pagi yang mulai ramai dikunjungi orang, segera diisi oleh pedagang. Taman-taman rekreasi segera dipenuhi oleh pedagang, padahal tidak ada bangunan untuk pedagang.

Demikian juga pemukiman yang jalannya ramai dilalui orang, mulai banyak ada pedagang. Dulu pekarangan rumah-rumah hampir semua memiliki telajakan (ruang yang tidak dibanguni) di pinggir jalan yang berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (RTH). 

Kini setelah jalan dilalui banyak orang, telajakan itu dibangun rumah toko, baik dimanfaatkan oleh pemilik pekarangan maupun dikontrakkan kepada pedagang yang bahkan datang dari luar komunitas.

Perdagangan itu memang penting untuk distribusi dan transaksi barang memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi produksi komoditas yang dapat diperdagangkan tidak boleh dilupakan. Kalau produksi dilupakan maka nanti tidak ada yang diperdagangkan.

Sayangnya itulah yang terjadi di banyak tempat di Bali. Hampir semua ruang yang tadinya kosong, kalau sudah ramai dikunjungi orang, segera diisi oleh pedagang. Namun, produksi pertanian telantar.

Sejarah pemikiran ekonomi praklasik memang dimulai dengan paham perdagangan.  Penyebab kekayaan itu adalah akumulasi dari keuntungan perdagangan. Paham ini disebut Merkantilisme.

Kemudian paham itu digantikan oleh paham bahwa yang penting itu adalah produksi dari mengolah alam yang dilakukan melalui pertanian dalam arti luas. Paham yang mementingkan produksi alamiah ini disebut Fisiokrat.

Akhirnya lahir pemikiran ekonomi yang sampai sekarang dianut. Kekayaan itu berasal dari produksi memanfaatkan lahan, tenaga kerja, modal, dan teknologi. Untuk mendorong peningkatan produksi diperlukan spesialisasi dalam produksi dan menghilangkan hambatan dalam perdagangan. 

Kalau dicermati, paham yang terakhir ini sebenarnya memadukan dua paham terdahulu. Pemikiran ekonomi ini disebut Ekoni Klasik. Disebut Klasik karena paham ekonomi ini sudah ada sejak abad ke 18 dan sampai sekarang masih diterapkan dengan berbagai modifikasi.

Mengamati fenomena di Bali, apakah perekonomian Bali kembali ke Merkantilisme dengan mengabaikan produksi pertanian?

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com