Jurnalistik Bukan Monopoli Orang-Orang Pers - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

4/12/18

Jurnalistik Bukan Monopoli Orang-Orang Pers


JURNALISTIK sepertinya bukan monopoli orang-orang pers, sebab ini hal itu sudah merambah ke sekolah-sekolah sebagai pengetahuan alternatif yang perlu dimiliki para siswa. Apalagi di dunia kampus, sejak dulu sering menempatkan Jurnalistik itu sebagai salah satu kegiatan pada UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang sejajar dengan UKM-UKM lainnya.

Seperti penulis alami beberapa tahun silam, pernah ”ngayah” atas permintaan seorang dosen Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja untuk membantu membagi ilmu Jurnalistik kepada mahasiswa semester IV dan semester VIII Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di luar kampus.

Dari salah satu poin Profil Lulusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia disebutkan Jurnalis: nantinya bisa menjadi Penulis, wartawan, penyiar, dan pengelola media massa, baik cetak, elektronik, maupun on line.

Kendati ”ngayah” tapi merupakan bagian dari suatu kebahagiaan batin seorang pensiunan masih dapat dan mampu membagi ilmu Jurnalistik kepada penerus bangsa di era reformasi. Hasil dari tambahan pengetahuan Jurnalistik secara praktek liputan maupun wawancara menjadi penunjang nilai sebagai mahasiswa. Mereka, para mahasiswa merasa senang ketika diberi pengetahuan praktek langsung ke berbagai acara liputan, dan bisa lebih dekat dengan pejabat.

Selain mendapat pengetahuan bagaimana menulis berita street news, juga menulis berita laporan atau lebih keren feature, terutama permasalahan sosial yang terjadi dilingkungannya. Bahkan, terkait sisi ”gelap” Kota Singaraja, dengan menggali peristiwa di tempat hiburan malam.

Dalam aktivitas ini tidak hanya khusus mereka mahasiswa tapi juga mahasiswi, dan mereka menikmati. Karena dari investigasi mahasiswa menjadi tau dan mengerti, kenapa mereka yang bekerja di hiburan malam umumnya perempuan. Semata karena himpitan perekonomian yang sudah tidak lagi memberi harapan hidup di kampungnya. Itulah sejarah kehidupan umat manusia.

Pengamat sosial, Dr. Gede Made Metra, M.Si. pernah menyebut, bahwa Jurnalistik itu berasal dari Ilmu Sejarah ? Betulkah hal itu, mengingat ada seorang mahasiswa yang pernah bertanya “apa alasannya bahwa Jurnalistik itu dikatakan sebagai ilmu Sejarah ?” Dan, sekiranya hal itu benar, berarti para mahasiswa akan mendapat bekal tentang Ilmu Sejarah.

Masalah Praktis
Ada warga masyarakat yang berpandangan, bahwa persoalan pokok jurnalistik itu adalah hal-hal yang berbau prkatis seperti bagaimana menulis dengan gaya 5W + 1H, sedangkan yang bernada teoretisi yang sering dijadikan bahan diskusi pada dunia akademik selayaknya dikesampingkan dulu.

Sepertinya apa yang pernah dilontarkan Dr. Gede Made Metra yang menyatakan, bahwa Jurnalistik itu Ilmu Sejarah memang ada benarnya, namun tidak mutlak. 

Persoalan jurnalistik (berasal dari acta diurna = catatan sehari-hari) memang tidak pernah terpisah dengan keadaan masa silam, makanya timbul satu cabang Jurnalistik yakni Jurnalistik Sejarah. Ketika orang menulis tentang kronologi suatu peristiwa penting (contoh, pemberontakan G.30.S/PKI), itu sesungguhnya merupakan sejarah masa lalu.

Setidak-tidaknya, Jurnalistik dapat memanfaatkan kaidah-kaidah dalam ilmu sejarah. Belum lagi kalau seorang jurnalis menulis artikel atau esai mengenai ”kehebatan” seorang tokoh pers semisal Mahbub Junaedi, Mochtar Lubis, Rohana Kudus, Adinegoro, Rosihan Anwar, dan lain-lain, mau tidak mau kita mengadopsi ilmu sejarah

Ada juga yang menyebut, bahwa Jurnalistik bukan hanya ilmu sejarah, juga benar seperti itu. Jurnalistik memang memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu selain sejarah, seperti Ilmu Psikologi, Ilmu Bahasa, Ilmu Sosiologi, dan yang ada keberimpitan yaitu Ilmu Komunikasi.

Seorang jurnalis sangat tidak mungkin dapat menulis dengan bagus tanpa memperhatikan suasana kebatinan, kondisi psikologis seorang nara sumber apakah dalam keadaan senang, susah, murung, dan lain-lainnya.

Keharusan
Ilmu Bahasa sangat banyak kontribusinya terhadap pekerjaan seorang jurnalis mengingat modal dasar dari pekerjaan mereka adalah ”bahasa” terutama bahasa tulis. Orang tidak akan mungkin bisa menulis dengan bagus kalau tidak memiliki kemampuan berbahasa dengan baik. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika seorang jurnalis tidak bisa membedakan mana subjek, mana predikat, dan mana pula keterangan.

Memang patut diakui, dalam hal-hal tertentu ia bisa ”menyimpang” dari aturan yang sudah baku (Bahasa Indonesia yang baik dan benar) lantaran orang-orang pers dibekali dengan ilmu bahasa khusus, yakni Bahasa Jurnalistik. Pun demikian, kemampuan berbahasa bagi seorang jurnalis boleh dibilang merupakan conditio sinequanon (sesuatu yang harus dilakukan atau dikerjakan).

Ilmu Sosiologi berkontribusi pada Jurnalistik ? Jawabnya jelas ya. Dikatakan demikian, kita harus mengupas sedikit apa itu Sosiologi ? Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan atau ilmu yang ada kaitan dengan pertemanan, mencari kawan, dan menyangkut pula soal hubungan atau interaksi dari orang ke orang lain, dari orang ke masyarakat, dan dari masyarakat ke masyarakat yang lain.

Pekerjaan pers banyak tersita di lingkungan masyarakat tertentu. Orang-orang pers tidak bekerja pada dunia yang hampa, melainkan senantiasa berhubungan dengan manusia-manusia yang sifatnya pluralistik. Itu pulalah yang menyebabkan bahwa salah satu landasan pers adalah Landasan Sosiologis.

Kesimpulannya, wartawan yang bekerja pada media cetak maupun elektronik harus belajar banyak tentang sosiologi, agar pekerjaan yang ditekuninya itu dapat berjalan lancar dan sukses.

Komprehensif
Yang tak kalah penting, wartawan ataupun jurnalis harus akrab dengan ilmu komunikasi. Kenapa demikian ? Konon, ilmu komunikasi itu adalah embahnya jurnalistik. Atau dengan kata lain, ilmu jurnalistik menurun dari ilmu komunikasi, atau jurnalistik itu ilmu terapan dari ilmu komunikasi.

Ibarat pohon besar, ilmu komunikasi adalah seperti pohon itu. Ia lalu memiliki banyak cabang seperti ilmu fotografi, ilmu kehumasan (public relations), reportase, periklanan, dan masih banyak lagi, termasuk jurnalistik yang sudah disinggung duluan.


Simpulan yang dapat dipetik dari paparan ini, setiap jurnalis jangan hanya penganut ilmu monolitik (hanya satu disiplin) melainkan ilmu yang menyeluruh (komprehensif). Itu berarti, para jurnalis jangan hanya berpuas diri pada sebuah dalil 5W + 1H, sebab hal itu hanya bersifat teknis belaka. Yang lebih penting, lebih urgen, adalah pengembangan wawasan lewat sejumlah ilmu yang nantinya dipakai bekal yang ideal berlatar pada idealisme yang patut dibanggakan.

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com