Buleleng, Dewata News.com - Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap
mengandung arti dan makna yang relevan dengan tuntutan masa kini dan
masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai tujuan utama upacara
Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang akan
datang. Bhuta Yajña (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk
memotivasi umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa
menjadi sumber kehidupan.
Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang
melekat pada diri manusia. Pengertian ini dilontarkan mengingat kata
“tawur” berarti mengembalikan atau membayar. Sebagaimana kita ketahui,
manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk mempertahankan
hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam karma
wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi,
yaitu berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi
perlu selalu dilakukan agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang.
Ini berarti Tawur Kesanga bermakna memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai
inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam merayakan pergantian Tahun
Saka
Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh
suatu nilai kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia
di dunia ini, baik sekarang maupun pada masa yang akan datang. Umat
Hindu dalam zaman modern sekarang ini adalah seperti berenang di lautan
perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat. Persamaan dan
perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan merupakan
sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif
apabila manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang
sehat. Brata penyepian adalah untuk umat yang telah mengkhususkan diri
dalam bidang kerohanian. Hal ini dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi
dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala tingkatannya.
Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat
tertentu.
Pelaksanaan Upacara
Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi.
Pelaksanaan upacara Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti
ini: “….manusa kabeh angaturaken prakerti ring prawatek dewata.”
Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung
pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan
hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air
lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan
persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai
dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di
Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama
itu umat melakukan persembahyangan.
Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara
Nagasankirtan di India. Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan
lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan
tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara
Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan
nama-nama Tuhan (Nama smaranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.
Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan
wilayah adalah sebagai berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara
tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat
kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan
upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar
merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9
tanding, segehan nasi sasah 100 tanding. Sedangkan di pintu masuk
halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di
situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng
ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada
sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi
arak tuak. Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung
asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan
tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.
Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali
yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala
prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.
Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan,
dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet).
Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada
saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah tangga, yaitu
melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada
saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi
tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi
wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat
bunyi-bunyian.
Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu
patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu
kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini merupakan lambang nyomia atau
menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara
Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bambu, kertas, kain dan
benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas
masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan
upacara ngrupuk.
Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya Nyepi,
maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut.
Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara
dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang
melambangkan Bhuta Kala.
Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara
pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan keamanan. Selain
itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat dengan memaksakan diri hingga
terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar memiliki
tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan
upacara. Ogoh-ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar
itu harus ditampilkan dengan landasan konsep seni budaya yang tinggi dan
dijiwai agama Hindu.
Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari
Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra
dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari raya yang jatuh setahun
sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak
bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang
diperkenankan keluar (kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta
hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.
Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:
- Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan upawasa (puasa).
- Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.
- Amati lelungan (tidak bepergian).
- Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).
Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan
kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan
kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat.
Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa
yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.
Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan
pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat
melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu
yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar
atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu
dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.
Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan
minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa
Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara
sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran
pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan
persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan
keluarga di rumah. Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus
dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong
oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan
terpaksa.
Tujuan mencapai kebebasan rohani itu memang juga suatu ikatan.
Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikhlasan. (DN ~ net).
Sumber: www.parisada.org
Kenapa harus mesegeh pada kajeng kliwon, purnama, kenapa tiap 15 hari, kenapa tiap ada upacara panca yadnya juga mesegeh? Kenapa segehan itu bahannya nasi, jahe, bawang, garam, beras, air, arak, berem, abu api takep. Kenapa mecaru ayam, kerbau, anjing, bebek dst. Kenapa menyuguhkan caru ada yang tiap 6 bln, ada yang 1 tahun, ada yang 5 tahun, ada yang 10 tahun bahkan yang 100 tahun sekali?
ReplyDeleteInti dari semua perilaku Upacara dan Upakara di Bali adalah Upacara Bali "kegiatan memberi makan bumi" yang dilaksanakan sejak sebelum ada agama, ini adalah tugas melekat manusia sejak ditempatkan di Planet Bumi. Agar bisa menjamin kelangsungan hidup di Bumi maka harus merawat Planet ini dengan memberi makan Bumi/Upacara Bali. Nasi, bawang, jahe, beras, arak berem, abu takep adalah sarana memberi makan bumi. Budaya ini hanya bisa diteruskan oleh petani dengan budaya agraris. Arti yang dikenal saat ini hanya ritualnya saja, fakta ilmiahnya adalah bahan segehan, caru, tawur dan berbagai tingkatan itu adalah kegiatan petani meruwat bumi dengan menyiapkan bahan makanan untuk difermentasi dengan arak berem, biopestisidanya bawang jahe garam, makanan mikrobanya mulai dari, beras, nasi, jeroan, darah, telor, air kelapa, kelapanya, ayam, sapi dst. tingkatan nya sesuai pelaksananya dan luasnya cakupan ruang yang akan diberi makan. Untuk rumah cukup caru ayam 6 bulan sekali, untuk banjar/desa perlu jumlah makanan yang agak banyak sehingga carunya mungkin panca sata. Untuk kabupaten memberi makanan yang lebih banyak dengan tawur menggunakan daging dan jeroan babi, kerbau dst. Makin besar cakupan wilayah bumi yang akan disuguhkan makanan makin banyak jumlah bahannya dan makin besar bintang yang dikorbankan untuk persediaan makanan mikroba tanah tersebut. Ruang yang wajib diberi makan adalah gunung, sungai, ulun subak, danau, laut, teluk. yang paling penting adalah semua suguhan itu HARUS DIPENDAM DI DALAM TANAH karena itu makanan untuk mikroba. Bila proses fermentasi selesai maka di taburkan abu sekam/dari serabut kelapa untuk menetralkan PH tanah, karena aktifitas bacteri/microbacteria memfermentasi menghasilkan asam. Ketika musim hujan maka semua hasil fermentasi itu dibagikan merata melalui aliran air ke sawah, ladang dsb. Jadi leluhur bali sudah menerima dan menjalankan kegiatan green production sejak jaman dulu sebelum ada agama. Semua bahan yang dipakai adalah hasil bumi, tumbuhan, hewan. Gas metan yang dihasilkan dari peoses ini adalah sumber hidup bagi mahluk halus. Semua aktifitas meruwat bumi paling disiplin dan konsisten dilakukan oleh kelompok orang pilihan TUHAN yang dikenal dengan sebutan PETANI. Merekalah yang paling tekun meruwat bumi, menyediakan makanan bagi mahluk lainnya sehingga kehidupan di Planet Bumi masih berlangsung. Kalau kelompok ini semakin langka maka 100% bisa diprediksi kepunahan manusia akan terjadi. Tidak perlu senjata bom dsb. Hentikan usaha pertanian, campakan kelompok petani, maka bahan makanan tidak cukup untuk manusia, kematian massal akan terjadi. Itu inti Upacara Bali yg masih tekun dilakukan oleh petani dan apa tujuan semua upacara yang dilakukan secara teratur, terstruktur dan terorganisir mulai dari harian, 2 mingguan, bulanan, 6 bulanan tahunan dst. Dengan bungkus tatwa, susila dan upacara maka aktifitas merawat dan meruawat bumi akan bisa terselamatkan. Ini sedikit kitab Alam yang diungkap agar masyarakat Bali mengerti bahwa upacara bukan membuang-buang uang dan membuat sampah tapi menjalankan kewajiban untuk merawat alam/Bumi sebagai kelompok pilihan menjamin kehidupan berkelanjutan. Hidupi Bumi maka Bumi akan menghidupi.
Lakukan penelitian dan pengujian LAB terhadap komposis banten/caru/segehan dikaitkan dengan komposisi makanan bagi alam/microba atau disebut pupuk dan pestisida organik maka akan terungkap rahasia ilmu alam yang terima leluhur BALI.
"Karmanye Vadhikaraste Ma Phaleshu Kadachana, Ma Karma Phala Hetur Bhurma Tey Sangostva Akarmani"