Satriya Koesuma ”Mereh” Baca Puisi di eks.Pelabuhan Buleleng - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

12/21/15

Satriya Koesuma ”Mereh” Baca Puisi di eks.Pelabuhan Buleleng

   Bergawan Satriya Koesuma ketika "mereh" didampingi Penyair "gila" BranjanganSh

Buleleng, Dewata News.comBegawan Sanggar Seni Banyuning, Putu Satriya Koesuma dengan rambut terurai “mereh” ketika membacakan puisi “Dunia Para Buaya” merayakan ”69 Puisi di Rumah Dedari” Dewa Putu Sahadewa"di pelataran Monumen Yuda Mandala Tama eks Pelabuhan Buleleng, Minggu (20/12) malam.

     Beberapa penyair sukses lainnya dari Denpasar, bahkan dari Jakarta ikut menyemarakkan gema 69 Puisi di Rumah Dedari Dewa Putu Sahadewa yang berprofesi dokter dan lama bertugas di Kupang, NTT ini. ”Pelataran monument Yuda Mandala Tama sengaja dipilih sebagai “arena pergulatan” kegelisahan para penyair hampir se-Bali ini untuk mengingatkan sukses Dermaga Seni Buleleng (DSB) atas kepeiawaian Ketut Wirata Sindhu ketika menjadi Bupati Buleleng di tahun 1996 lalu membaca puisi dengan membuka bajunya,” kata Made Tirthayasa mengenang mantan bupati “kumis jempe” itu.
   Wayan Jengki Sunarta
Diantaranya Jengki Sunarta, Ketut Syahruwardi Abbas, AA Mas Ruscitadewi, Ibk Dharma Santika Putra, maupun president Komunitas Sastra Mahima, Kadek Sonia Piscayanti serta April Artison  yang menyimak “Ibu Menjaga Rumah dengan Setia”. Tak ketinggalan sang penyair Dewa Putu Sahadewa yang saat ini menjalani pendidikan S3 di FKM Unair tampil membacakan “Api Singa Ambara Raja”. Bahkan, penyair “gila” dari Jakarta, BranjanganSh yang secara khusus hadir dan tampil di pelataran Monumen Yuda Mandala Tama malam itu.

   Penjaga gawang DSB, Made Tirthayasa
Sementara Made Tirthayasa dari Dermaga Seni Buleleng (DSB) malam itu sengaja tidak membawakan diantara 69 Puisi di Rumah Dedari karena pada siang harinya di ruang teater Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha sudah membacakan “Sajak Kota Cinta”, sehingga malam itu melalui puisi “Kekerasan Terhidang di Atas Meja” mengetuk nurani para pelaku bentrok antar ormas yang mengakibatkan empat orang merenggang nyawa di Denpasar.


     Selain penyair, pengamat maupun pecinta sastra yang dengan tekun duduk lesehan di atas karpet, depan pelataran Monumen Yuda Mandala Tama, juga masyarakat yang malam itu mengunjungi pelataran eks.Pelabuhan Buleleng. Tampilnya penyair “gila” dari Jakarta, Branjangan yang secara khusus hadir dan tampil di pelataran Monumen Yuda Mandala Tama malam itu seperti membangunkan “singa” tidur Singaraja yang layak menyandang Kota Sastra ini.

  Penikmat seni sastra duduk lesehan.

Puisi Tak Sekedar Esensial Kata

    Apresiasi puisi malam itu, menurut Koordinator acara Dr. Gede Artawan, sebagai rangkaian Diskusi Sastra dan Bedah Buku ”69 Puisi di Rumah Dedari” karya dr.Dewa Putu Sahadewa yang dilaksanakan siang hari di Ruang Teater Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha Singaraja.
       

    Doktor sastra Undiksha, Gede Artawan ketika ”menelanjangi 69 Puisi di Rumah Dedari (PRD)” siang itu mengawali dengan kalimat “Puisi ternyata tidak sekadar ekspresi esensial kata yang dibangun dengan struktur fisik dan bathin, tapiu merupakan wacana naratif yang bisa m,enjadi refrensi bagi pembacaan kembali hasil perenungan yang mendalam dari penyair.”
  
    ”Penyair Dewa Putu Sahadewa melalui antologi 69 PRD mempresentasikan hasil pergulatan, perenungan, pembacaan terhadap banyak hal di beberapa zona kehidupan sosial, relegi, lingkungan dan lain-lain dalam format persepsi yang personal,” ungkap Dr. Gede Artawan sembari menambahkan 69 PRD itu jangan dikonotasikan lain.

Para pembicara dan moderator Bedah Buku 69 Puisi di Rumah Dedari dr.Dewa Putu Sahadewa

   Tampil juga sebagai pembicara pada acacara Diskusi dan Bedah Buku “69 PRD)” di kampus Undiksha itu, Dr. Wayan Artika yang mampu memberikan pencerahan tentang sastra. ”Sanag naïf dan miris jika ada dosen sastra tidak mampu memahami dan menyentuh nuraninya tentang sastra, khususnya puisi,” kata doktor kelahiran Batuengsel, Tabanan yang siang itu mendapat aplus dari peserta eksklusif dari mahasiswa jurusan Basindo (Bahasa Indonesia) dan dosen serta tak ketinggalan penyair dari ujung barat pulau Dewata, DS.Putra beserta istri.

   Kegiatan diskusi sastra dan bedah buku antologi ”69 PRD” di Ruang Teater FBS Undiksha dengan moderator Made Astika siang harinya maupun apresiasi sastra di Monumen Yuda Mandala Tama eks Pelabuhan Buleleng pada malam harinya, menurut sang penyair ”dokter ahli kandungan” Dewa Putu Sahadewa merupakan kebahagiaan tersendiri yang telah diapresiasi para penyandang kegelisahan saat ini atas berbagai kebijakan yang sudah meninggalkan kebudayaan.

       Budayawan Ketut Syahruwardi Abbas. ”Ada apa dengan kita, Bali.
   Seperti diungkapkan budayawan Ketut Syahruwardi Abbas. ”Ada apa dengan kita, Bali. Ngajak nyame saling bunuh. Sementara kebijakan untuk membangun bandara di Buleleng jelas bertolakbelakang dengan potensi Bali, dan Buleleng khususnya dalam bidang kemaritiman. Semestinya pemerintah meningkatkan fungsi Pelabuhan Celukan Bawang menjadi pelabuhan kontiner atau pelabuhan bongkar muat barang dan manusia,” ungkapnya dengan nada sedih.

     Ketut Syahruwardi Abbas asli Pegayaman, Buleleng ini dengan nada tanya menyimak ”apa yang dapat dinikmati masyarakat dengan bandara. Tapi dengan meningkatkan fungsi Pelabuhan Celukan Bawang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. (DN ~ TiR).—

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com