Oleh: Suwitri Riyasse
CATATAN ini kubuat serangkaian Bulan
Bung Karno, di bulan Juni ini. Meskipun tak banyak catatan yang
kumiliki namun yang sedikit itu memiliki nilai dan kenangan penting
dalam catatan hidupku. Perkenalanku dengan Bung Karno itu sekitar
Pebruari 1955 sebelum Konferensi Asia Afrika diadakan di Bandung.
Ketika istirahat di VIP room Bandara
Bandung, rupanya Presiden melihat saya di deretan ibu-ibu yang
menjemput beliau. Beliau bertanya kepada Bapak Gubernur Bali yang
mendampinginya dan dijawabnya bahwa saya wartawan istri dari Protokol
Pemprov. Bali, IGP. Riyasse.
“Masak di Bali sudah ada wartawati?” Katanya bernada heran lalu disuruh
memanggil saya. Setelah saya memberi hormat Bung Karno bertanya:,
“wartawan ya? di mana sekolah wartawan?”
Saya cepat menjawab : “Saya kursus
jurnalistik tertulis pimpinan Parada Harapan selama 1 tahun. Saya lulus
dengan baik setelah memenuhi syarat dengan pembuktian suatu karya tulis
yang dimuat dalam salah satu surat kabar. (Waktu itu kebetulan seorang rekan dari
Denpasar yang juga mengikuti kursus yakni Bapak Ketut Nadha membuat
Penerbitan Majalah Suara Indonesia).
BK mengangguk-angguk tersenyum mendengar
penjelasan saya. Saya merasa senang, sebab langsung berdialog dengan
seorang Presiden. Jangan-jangan BK juga senang, sebab berhadapan dengan
wartawati yang cantik… ha ha ha……
Temani Sarapan
Sejak perkenalan di Bandung itu, setiap
kunjungannya ke Bali, Bung Karno (BK) pasti minta kepada protokolnya
untuk menemani sarapan. Penghuni Istana yang tadinya tidak paham kenapa
satu orang itu saja menemani beliau sarapan, rupanya belakangan baru
paham karena yang diajak sarapan setiap hari adalah orang yang bisa
mengimbangi pembicaraan BK sesuai dengan topik yang dibicarakan.
Terkadang tampak berdebat mempertahankan kebenaran / keyakinan
masing-masing.
Bung Karno sadar lawan bicaranya berani
mempertahankan argumentasinya apalagi dengan menggunakan bahasa Belanda
dan Inggris bertambah keyakinan beliau bahwa protokolnya memang seorang
intelektual. Apapun yang ditanyakan pasti, bisa dijawab. Itu rupanya
yang membuat Bung Karno respek pada protokolnya yang serba bisa.
Suatu hari ketika Riyasse membawa dua
orang temannya dari kepolisian Ida Bgs. Mahadewa dan Boy Dharmayuman
kelakarnya jadi tambah ramai. Saat selesai sarapan Bung Karno diberi
beberapa asupan obat-obatan. Si Boy yang suka usil bertanya kepada Bung
Karno: “Kok asupan obatnya banyak sekali?”
Bung Karno menjawab “Bapak kan sudah
tua. Tapi yang satu ini obat istimewa. apa itu pak? Kamu ngertikan kan,
Bapak kan sudah tua”.
Si Boy nyerocos saja ya saya tahu itu
kan obat kuat. Semua yang hadir tertawa renyah. Akhirnya setiap Bung
Karno datang ke Bali Riyasse selalu di temani dua orang temannya dari
Kepolisian itu.
Koreksi Pembangunan
Pengamatan saya, Bung Karno merupakan
tokoh yang punya sikap tegas dan terbuka. Begitu sampai di Airport Tuban
dan istirahat sejenak di VIP ROOM Bung Karno langsung panggil petugas
agar patung-patung yang kurang pas bentuknya dibongkar dan diganti
dengan yang lebih bagus.
Demikian juga saat meninjau Yayasan
Kebudayaan Bali (YKB) yang letaknya sebelah selatan Museum Bali. Begitu
BK masuk ruangan, petugas dipanggil untuk membuka korden bermotif
kembang-kembang agar diganti dengan yang polos.
Tidak itu saja, malam harinya ketika menyaksikan tari-tarian di Istana Tampaksiring, Bung Karno minta para penarinya turun. Langsung Bung Karno tersenyum dan kasih tahu mereka cara ber- make up yang benar di malam hari supaya kelihatan lebih cantik. Setelah itu Bung Karno memberikan oleh-oleh berupa scraf yang di bungkus kertas Koran. Meski hanya berupa selendang leher para penari tampak gembira dan terharu menyikapi rasa kebapakan Bung Karno.
Tidak itu saja, malam harinya ketika menyaksikan tari-tarian di Istana Tampaksiring, Bung Karno minta para penarinya turun. Langsung Bung Karno tersenyum dan kasih tahu mereka cara ber- make up yang benar di malam hari supaya kelihatan lebih cantik. Setelah itu Bung Karno memberikan oleh-oleh berupa scraf yang di bungkus kertas Koran. Meski hanya berupa selendang leher para penari tampak gembira dan terharu menyikapi rasa kebapakan Bung Karno.
Suatu hari Bung Karno mengajak Riyasse
jalan-jalan berdua saja, didampingi ajudan dan sopir. Setelah berangkat
Bung Karno baru bilang mau melihat museum Le Mayeur. Bung Karno diterima
karyawan penunggu Gellery karena Bos Museum sedang bepergian. Setelah
keliling melihat-lihat, Bung Karno menunjuk sebuah lukisan
bertelanjang dada sedang memetik bunga di telaga yang tidak lain adalah
istrinya Le Mayeur sendiri yang bernama Ni Polok.
Setelah diamati dari segala sudut
pandang Bung Karno menjatuhkan pilihan pada lukisan tersebut dan bilang
sama Riyasse: “ Yang ini bapak suka”. Merasa tidak membawa uang Riyasse bertanya kepada Bung Karno, “Siapa yang bayar Pak?”. Bung karno juga bilang tidak bawa uang.
“Coba tanya Pak Sabur (Ajudan) apa dia bawa uang gak?”
Setelah dipanggil dan diberitahu, Pak Sabur langsung membayarnya. Itulah yang terjadi.
Pada suatu hari, BK istirahat dan
menikmati hiburan malam dengan mengundang pejabat daerah se-Bali. Acara
waktu itu berlangsung riang gembira dengan hiburan yang sedang
ngetrend. Bung Karno turun dengan gaya seperti anak muda. Tepat jam
24.00 terdengar suara protokol agar Bapak Presiden Soekarno meninggalkan
ruangan. Ini atas nasehat Dokter pribadinya agar beliau istirahat.
Meski ngedumel beliau terpaksa meninggalkan ruangan. Ternyata peristiwa
itu adalah saat terakhir Riyasse menghandle Bung Karno sebelum meletus
musibah G30S/ PKI, 30 September 1965. (*).-

No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com