Ketika Fakta Dikemas Dengan Sastra - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

12/24/13

Ketika Fakta Dikemas Dengan Sastra





Bedah Buku di Dapur Olah Kreatif

SULUHBALI.CO, Denpasar – Pada masa orde baru, sangat sulit mengungkapkan fakta apalagi kalau sebuah fakta tersebut menyentuh kekuasaan. Berita yang sejatinya juga berangkat dari fakta juga menemui kesulitan, kalau sebuah berita tersebut mengusik kepentingan penguasa kala itu. Maka dicarikan cara untuk menyampaikan fakta tersebut, yakni dikemas dalam bentuk sastra. Fakta yang dibuat dalam bentuk fiksi atau sastra banyak lahir pada masa-masa itu. Kritik sosial atau kritik terhadap pemerintahan dikemas dalam bentuk karya sastra.

Arswendo Atmowiloto sebagai seorang wartawan, pengarang, sekaligus juga pernah sebagai penghuni penjara melakukan kegiatan jurnalistik perihal para penghuni penjara. Saat mendekam di LP Cipinang Jakarta Arswendo Atmowiloto novel. Mengangkat kehidupan di dalam penjara. Ia menggali informasi, latar belakang, pribadi, serta mengapa sampai orang-orang tersebut berada disana, sebagai penghuni penjara. Termasuk bagimana mafia hukum bekerja kala itu. Reportase tersebut kemudian ia jadikan sebuah karya novel yang berjudul “Abal-Abal”.Bahkan selama dalam tahanan, Arswendo menghasilkan 7 buah novel, 3 buah skenario, begitu juga banyak ia tulis dalam bentuk artikel.

Novel tersebut menarik perhatian seorang Teguh Hadi Prayitno, seorang jurnalis, dalam pembuatan tesisnya. Menurutnya, novel Abal-abal karya Arswendo Atmowiloto tersebut mengandung banyak kritik social. Bahkan secara lugas melukiskannya seolah-olah ada dalam kehidupan nyata, bukan hanya dalam fiksi. Kandidat Doktor Ilmus Sosial, Undip Semarang ini pun melihat, novel Abal-abal adalah salah satu karya sastra yang ditulis oleh seorang wartawan yang prosesnya tidak jauh berbeda dengan proses reportase. Menurut Teguh, sebagai sebuah kritik terhadap lembaga pemerintahan, tema yang diusung novel Abal-abal tersebut boleh dibilang tak akan pernah lekang oleh waktu.

Telaah atau penelitian atas karya sastra novel Abal-abal ini kemudian oleh Teguh Hadi Prayitno dijadikan buku dengan judul Sastra Jurnalistik dengan sub judul : menyelisik mafia hukum. “Abal-abal yang berarti imitasi, palsu, pecundang, atau hal-hal atau orang-orang yang dipandang memiliki karakter tidak baik. Tetapi bagi Arswendo, para penghuni penjara, yang dipandang sebagai tidak memiliki martabat, tapi dimata Arswendo sejatinya mereka memiliki martabat kemanusiaan yang sama dengan meraka yang memandang mereka sebagai tak bermartabat,” urai Teguh saat hadir di Dapur Olah Kreatif (DOK), Denpasar, Sabtu (21/12/2013).

Teguh mengatakan istilah sastra jurnalistik berbeda dengan jurnalisme sastrawi. “Istilah sastra jurnalistik ini baru, sebelumnya saya cek di google, belum ada tertuliskan. Setelah buku saya muncul, baru istilah ini muncul di google.com,” katanya.

Teguh menjelaskan perbedaannya jurnalisme sastrawi telah dikenal lama di dunia barat dan kemudian diadopsi di Indonesia. Jurnalisme sastrawi ini merupaka karya jurnalistik yang menggunakan bahasa sastra. Hasil karyanya tetaplah sebuah fakta dan bukan fiksi.

Sementara sastra jurnalistik merupakan sebuah karya sastra dimana dalam proses membuatnya si pengarang bisa seorang jurnalis atau bukan.

“Tapi dia (pengarang) melakukan proses seperti kerja jurnalis, investigasi reporting di lapangan, kemudian dituangkan sebagai sebuah karya sastra. Namun ketika menjadi sebuah novel, hasil karya ini tetaplah sebuah fiksi, meskipun dia sesungguhnya adalah sebuah fakta,” katanya.

Sejak Abad ke-16

Sementara itu Prof. Dr. Nyoman Darma Putra, Faksas UNUD yang hadir sebagai pembahas saat acara tersebut juga menguraikan, kalau sejatinya telah banyak lahir karya sastra yang berangkat dari fakta. Ia mengambil beberapa contoh diantaranya karya-karya Pramudia Ananta Toer. Bahkan ia  mengambil beberapa contoh diantaranya cerpen-cerpen dalam antologi “Tempo Doeloe” yang disunting Pramudia Ananta Toer. Bahkan ia mengatakan sastra dengan gaya jurnalistik dalam arti menuangkan “catatan faktual” seperti kerja wartawan sebenarnya sudah ada sejak abad ke-13/14.

Kegiatan bedah buku tersebut diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, bekerja sama dengan Dapur Olah Kreatif (DOK) edisi ke-67 dan berlangsung di Warung Tresni, Renon Denpasar dan dipandu langsung oleh kurator DOK Iwan Darmawan.

Darma Putra menyatakan sebelum Teguh membawa istilah “Sastra Jurnalistik”, sebelumnya telah dikenal jurnalisme sastrawi, yakni penulisan berita dengan gaya sastra. Media yang dikenal dengan gaya penulisan jurnalisme sastrawi adalah Majalah Tempo.

“Tempo telah menerapkan jurnalisme sastrawi dengan ciri khas penulisan cerita di balik berita, penulisannya dengan gaya sastra yang enak dibaca, beda dengan koran maupun media online yang jarang menerapkan jurnalisme sastrawi,” ujar Darma Putra.

Jurnalisme sastrawi, lanjut Darma Putra sebenarnya sudah ada sejak abad ke 16. Ada juga cerita perjalanan Bujangga Manik dari Jawa Barat ke Bali pada abad tersebut. Catatan perjalanan Bujangga Manik ini juga dibuat dengan gaya jurnalisme sastrawi.

“Abad 16 itu Bujangga Manik sudah menceritakan perjalannya ke Bali hingga ke Klungkung. Waktu itu Bujangga Manik sudah menulis, bahwa kondisi Bali pada waktu itu sumpek, tidak bagus untuk meditasi,” ujarnya.

Selain contoh di atas, karya sastra-sastra tempo dulu, seperti kumpulan cerpen tempo dulu yang di sunting oleh Pramoedya Ananta Toer misalnya, juga sudah bergaya jurnalisme sastrawi.

Terkait buku “Sastra Jurnalistik” karya Teguh Hadi Prayitno, Darma Putra meminta agar Teguh memperkuat klaimnya atas istilah “Sastra Jurnalistik” dengan memberi lebih banyak contoh-contoh sastra dalam bukunya.
“Buku mas Teguh ini belum merupakan teori, tapi masih analisis dari novel Abal-Abal. Menurut saya, judul buku ini cocoknya novel jurnalistik, bukan sastra jurnalistik, karena belum banyak istilah atau contoh karya sastra yang terdapat dalam buku ini,” kiata Darma Putra mengkritik.

Setiap pelabelan itu menarik, namun pelabelan ini juga bisa dibaca sebagai gerakan merendahkan sastra. Dengan adanya pelabelan, muncul pemikiran sastra tidak usah dilabel. Baik itu sastra koran atau sastra jurnalistik, itu sebenarnya tidak penting.

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com