Komedi Hitam Negeri Tanpa Tong Sampah: Menimbun Dosa di Balik Pajak dan Gengsi - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

12/19/25

Komedi Hitam Negeri Tanpa Tong Sampah: Menimbun Dosa di Balik Pajak dan Gengsi

 

Denpasar, dewatanews.com - Wajah kota kita belakangan ini tampak seperti panggung srimulat yang naskahnya ditulis oleh orang yang sedang mabuk lem. Bayangkan sebuah skenario di mana semua orang dilarang membuang hajat, namun seluruh toilet di kota digembok, sementara mereka yang ketahuan "melepas beban" di semak-semak akan didenda setinggi langit. Itulah potret mutakhir pengelolaan sampah kita. Fenomena ini bukan lagi sekadar salah urus birokrasi, melainkan sudah masuk ke ranah pengkhianatan terhadap akal sehat yang dilakukan secara berjamaah.
 
Hukum ditegakkan dengan gagah berani melalui kamera-kamera pengintai yang siap menangkap wajah-wajah "kriminal" pembuang kantong plastik. Namun, cobalah Anda berjalan kaki sejauh satu kilometer saja di trotoar yang katanya estetik itu. Mencari satu buah tong sampah di ruang publik kini lebih sulit daripada mencari politisi yang mau mengaku salah. Ruang publik kita bersih dari tong sampah, namun penuh dengan spanduk ancaman denda. Kita dipaksa menjadi pesulap yang bisa melenyapkan benda padat secara instan, atau menjadi atlet jalan cepat yang sanggup membawa sampah pulang ke rumah demi menghindari sanksi kurungan.
 
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sebenarnya sudah menuliskan janji manis bahwa setiap individu berhak mendapatkan pelayanan pengelolaan sampah yang layak. Hak ini adalah kontrak sosial yang seharusnya dibayar lunas oleh negara lewat pajak yang kita setor setiap bulan. Sayangnya, kontrak itu tampaknya hanya berlaku satu arah. Hak kita sebagai warga negara untuk mendapatkan lingkungan yang bersih lewat sistem yang mapan justru dikorupsi oleh ketidakmampuan menyediakan infrastruktur paling dasar: sebuah lubang penampungan yang bernama tong sampah.
 
Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) kini menjadi momok menakutkan yang gerbangnya tertutup rapat dengan alasan "kelebihan beban". Narasi yang dibangun selalu sama: rakyat terlalu banyak nyampah. Narasi ini sangat efektif untuk mencuci tangan dari kegagalan membangun sistem pengolahan yang modern. Padahal, jika kita mau sedikit nakal dan membongkar tumpukan busuk di TPA itu, siapa yang bisa menjamin bahwa isinya hanya plastik sisa gorengan warga jelata? Bau busuk di sana kemungkinan besar juga disumbang oleh tumpukan kertas laporan tak berguna dari kantor-kantor mentereng, limbah kemasan dari industri ritel yang untungnya triliunan tapi pelit urusan daur ulang, hingga limbah usaha komersial yang jalur pembuangannya seringkali "gelap".
 
Kaum terpelajar kita pun punya peran unik dalam sirkus ini. Pendidikan tinggi seringkali hanya membuat seseorang lebih pintar mencari alasan, bukan lebih sadar akan sisa konsumsinya. Mereka yang bergelar mentereng biasanya terlalu sibuk bergelut dengan angka inflasi atau mengejar karier di gedung tinggi hingga merasa urusan memilah sampah adalah degradasi martabat. Bagi kaum elit, sampah adalah entitas yang harus hilang dari pandangan secepat kilat. Mereka merasa sudah sangat "hijau" hanya dengan memposting kampanye eco-friendly di media sosial, padahal di dunia nyata, mereka tidak pernah tahu bagaimana nasib sisa makanan mereka setelah diletakkan di depan pagar.
 
Pejabat publik yang sering berteriak "Ayo pilah sampah!" di podium pun jarang sekali yang benar-benar memegang sampah dengan tangannya sendiri. Rumah mereka steril, bukan karena mereka ahli mengelola limbah, tapi karena ada asisten rumah tangga atau petugas pengangkut sampah pribadi yang bekerja dalam sunyi. Sangat mudah membuat regulasi yang menekan rakyat kecil ketika hidup di dalam gelembung yang terjaga dari bau busuk. Inilah yang kita sebut sebagai "kebutaan struktural", di mana pembuat aturan merasa masalah sudah selesai hanya karena rumah mereka sudah wangi.
 
Pajak yang kita bayar setiap tahun seolah menjadi upeti yang sia-sia jika urusan sampah masih harus diselesaikan lewat pungutan tambahan berkedok "swakelola". Kita ditarik iuran bulanan untuk jasa yang seringkali hanya berupa pemindahan masalah. Sampah diambil dari rumah, lalu dibawa ke tempat penampungan sementara yang tak kalah kumuhnya, hanya untuk menunggu truk pengangkut yang datangnya tidak pasti. Retribusi ini seringkali hanyalah "pajak kedua" untuk menyewa jasa tukang angkut, bukan untuk sebuah sistem pengelolaan yang berwawasan lingkungan. Label Swakelola  juga hanya menjadi label pemanis dibalik sistem jasa angkut buang sampah.
 
Ironi pemilahan sampah juga menjadi babak paling lucu dalam komedi ini. Warga yang masih punya nurani mencoba memilah sampah organik dan anorganik dengan telaten di dapur mereka. Namun, semangat itu biasanya langsung hancur berkeping-keping saat melihat truk sampah datang. Petugas pengangkut dengan santainya mencampur kembali semua sampah yang sudah dipilah itu ke dalam satu bak yang sama. Kerja keras warga berakhir menjadi sia-sia di bawah tekanan efisiensi yang salah kaprah. Pemilahan sampah di rumah akhirnya hanya menjadi ritual moral yang tidak memberikan dampak apa pun pada kelestarian bumi, melainkan hanya memberikan rasa nyaman palsu bagi pelakunya.
 
Kurangnya tempat sampah di jalanan adalah bentuk sabotase terhadap kesadaran masyarakat. Kita menuntut rakyat menjadi anggota masyarakat yang beradab, namun kita memperlakukan mereka seperti subjek dalam eksperimen ketahanan mental. Jika seorang warga berdiri membawa sampah di tangan sementara tidak ada tempat untuk membuangnya, apa yang kita harapkan? Apakah kita ingin mereka menelan sampah itu sebagai bentuk ketaatan pada hukum? Menghukum tanpa menyediakan solusi adalah bentuk pemalakan birokrasi yang paling vulgar.
 
Kesadaran warga memang seringkali rendah, namun menuduh warga sebagai satu-satunya pelaku kriminal ekologis adalah tindakan pengecut. Kita sering lupa bahwa kita adalah anggota masyarakat yang utuh hanya saat ditagih pajak, namun menjadi orang asing saat meminta pelayanan. Jika pemerintah menutup TPA tanpa membangun pengolahan yang mumpuni, itu bukan "darurat sampah", melainkan "darurat akal sehat". Kita tidak bisa terus-menerus melempar masalah ke keranjang rakyat yang sudah penuh dengan beban ekonomi dan tekanan hidup lainnya.
 
Setiap bungkus plastik yang kita lempar sembarangan memang merupakan dosa kecil kita sebagai manusia. Namun, membiarkan sebuah kota tanpa sistem pengelolaan limbah yang manusiawi adalah dosa besar yang terstruktur. Kita tidak butuh lebih banyak spanduk ancaman; kita butuh truk yang datang tepat waktu, tong sampah yang tersedia di setiap sudut, dan sistem pengolahan yang tidak berakhir di tumpukan tanah. Selama itu belum ada, maka denda hanyalah cara licik untuk memindahkan isi dompet rakyat ke kas daerah tanpa ada timbal balik yang nyata.
 
Mari kita berhenti berpura-pura bahwa masalah ini akan selesai dengan sendirinya lewat doa atau seminar-seminar lingkungan yang membosankan. Sampah adalah realitas material yang butuh solusi teknis, bukan sekadar orasi moral. Jika TPA terus ditutup dan tempat sampah tetap menjadi barang langka, jangan salahkan jika suatu hari nanti masyarakat mulai "mengembalikan" sampah-sampah tersebut ke tempat di mana kebijakan-kebijakan buntu itu dilahirkan. Bukankah mengembalikan barang kepada pemiliknya yang paling bertanggung jawab adalah sebuah tindakan yang sangat beretika?
 
Kehidupan urban yang kita banggakan ini ternyata hanya selapis tipis di atas tumpukan kotoran yang kita sembunyikan. Saat tumpukan itu meluap, kita baru tersadar bahwa kemajuan sebuah bangsa tidak diukur dari berapa banyak gedung pencakar langitnya, melainkan dari bagaimana cara mereka mengelola sisa-sisa peradabannya. Tanpa tempat sampah, kita bukan sedang membangun kota modern; kita sedang membangun sebuah tempat pembuangan raksasa yang diberi nama "peradaban".
 
Catatan :
I Nengah Muliarta
Angroteknologi, FPST-Unwar, Denpasar

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com