Gianyar, dewatanews.com - Di berbagai daerah di Indonesia, para peternak sapi mulai gelisah. Sapi jantan yang menjadi sumber utama pendapatan mereka kini sulit terjual, bahkan meski sudah ditawarkan hingga tiga bulan lebih.
Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran serius, terutama bagi peternak kecil yang bergantung pada penjualan ternak untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di Desa Taro, Tegallalang, Gianyar, sejumlah peternak mengaku sudah berulang kali menawarkan sapi mereka ke pedagang, namun jarang ada respons.
Salah satunya, I Made Niki, mengkau sudah berbulan bulan menawarkan ternak sapinya ,namun belum juga laku sampai saat ini, " sudah sejak lama saya tawarkan dan infokan untuk dijual, tapi tetap tidak ada yang menawarnya", katanya.
Disisi lain, walau dinilai merugi , sebagian peternak Sapi bahkan terpaksa harus membeli rumput untuk pakan sapi, demi tetap terpelihara ternaknya.
Menurut drh. Arya Dharma, UPTD Puskeswanl 3 Gianyar, Dari hasil penelusuran, ada sejumlah faktor yang memengaruhi lesunya pasar sapi jantan saat ini," berbagai masalah pasar, menyebabkan sapi Bali siap potong susah terjual", ungkapnya.
Pertama, melemahnya daya beli masyarakat membuat permintaan daging sapi ikut menurun. Rumah potong dan pedagang pun menahan pembelian karena penjualan di tingkat konsumen tidak bergerak.
Selain itu, tingginya biaya pakan menjadi masalah lain. Harga dedak, jagung, hingga konsentrat terus naik, membuat pedagang lebih selektif dan hanya membeli sapi yang siap potong atau memiliki ukuran ideal. Sapi yang masih kecil atau belum memenuhi kriteria cenderung diabaikan.
Modal pedagang yang tersendat juga memperburuk situasi. Perputaran yang lambat membuat mereka mengurangi pembelian dan mengambil langkah aman agar keuangan tidak terhambat.
Faktor lain yang ikut memengaruhi adalah tidak sesuainya bobot atau jenis sapi dengan kebutuhan pasar. Jenis tertentu seperti PO, Bali, Limousin, atau Simmental biasanya hanya dicari dalam ukuran tertentu. Sapi yang terlalu muda, kurus, atau sudah tua sering kali ditolak.
Masuknya sapi impor dan daging beku juga turut melemahkan pasar lokal. Harga yang relatif stabil dan kualitas seragam membuat pedagang dan konsumen memilih alternatif tersebut.
Selain itu, saat ini bukan musim puncak permintaan kurban. Di luar periode Idul Adha, pasar sapi jantan memang cenderung sepi. Permintaan biasanya hanya meningkat menjelang hari raya atau akhir tahun di sejumlah daerah.
Di sisi lain, selisih harga antara harapan peternak dan tawaran pedagang juga menjadi hambatan. Dalam kondisi pasar lesu, pedagang enggan menaikkan harga, sementara peternak merasa harga sapi layak dibayar lebih.
Tak hanya itu, kondisi fisik sapi—mulai dari kesehatan, bentuk tubuh, hingga kondisi gigi—sering menjadi faktor penentu diterima atau ditolaknya penawaran.
Kondisi ini membuat banyak peternak kebingungan. Jika dijual terlalu murah, mereka menderita kerugian. Namun jika tetap memelihara, biaya pakan terus meningkat.
Para peternak berharap ada kebijakan yang dapat membantu stabilisasi harga, termasuk pengendalian impor dan dukungan pakan terjangkau. Jika kondisi dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin banyak peternak kecil akan gulung tikar.
“Kami hanya ingin harga yang adil. Kalau sapi tidak laku, kami mau makan apa?” keluh salah satu peternak yang enggan disebutkan namanya.
Untuk kini, semua masih menunggu, apakah pasar kembali pulih, atau justru dibiarkan semakin lesu.

No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com