Denpasar, dewatanews.com - Sejumlah anak muda mendiskusikan pentingnya ruang publik termasuk ruang terbuka hijau yang cukup di Kota Denpasar. Tak hanya sebagai rekreasi dan beraktivitas juga memitigasi bencana seperti banjir. Ruang terbuka hijau (RTH) di Denpasar jauh dari target minimal 20%.
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang menyatakan, proporsi RTH wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah, dan proporsi RTH publik 20%. Berdasar pemetaan WRI Indonesia tahun lalu, RTH Kota Denpasar kurang dari 5%.
Diskusi ini dilaksanakan komunitas dan peneliti tata ruang Stravenues dan media jurnalisme warga BaleBengong berlangsung di Taman Kota Denpasar, 28 September 2025. Sejumlah komunitas yang kerap mengampanyekan pentingnya akses publik juga hadir seperti Forum Transportasi Bali yang baru-baru ini mengadvokasi kembalinya bus Trans Metro Dewata, Koalisi Pejalan Kaki Bali, dan lainnya.
Kadek Agus Weda Gunawan dari DPD Perhimpunan Tuna Netra (Pertuni) Bali yang menjadi narasumber diskusi menceritakan tantangannya mengakses ruang publik. Menurutnya dalam ruang publik seperti taman kota standar akses harus jelas dan sebelum dibuat ada diskusi dan simulasi dengan komunitas netra. “Misalnya kalau guiding block (warna kuning di trotoar) mengarah ke jalan raya atau pohon, pasti kita ikuti,” katanya tentang perlunya guiding block yang jelas warnanya dan tidak terputus. Warna kuning membantu low vision atau penglihatannya berkurang.
Lampu lalu lintas atau tempat penyeberangan juga menurutnya perlu suara agar saat menyeberang dan macet tidak diterobos. “Kemajuan pariwisata dan teknologi makin bagus apakah sudah memenuhi kebutuhan kita? Apakah pariwisata memberi akses disabilitas? Kalau tidak ada akses kami tidak bisa ke mana-mana hanya diam di rumah,” keluhnya.
Ketika lahir, Agus nondisabilitas, karena suatu penyakit penglihatannya terganggu. Karena itu tidak membayangkan sekarang setelah kena penyakit perlu akses. Misalnya pendidikan, pekerjaan, dan ruang publik. Ia mengeluhkan sulitnya berjalan di trotoar karena banyak motor parkir dan pedagang. Lampu merah dengan suara juga ada yang rusak, harus segera diperbaiki. “Semua berpeluang jadi disabilitas seperti lansia,” jelasnya.
Sementara itu Made Swabawa Sarwadhamana dari Stravenues menjelaskan ruang publik harus bisa diakses oleh siapa pun secara gratis. Namun kini makin banyak privatisasi ruang yang membatasi akses warga. Ia mencontohkan untuk menuju Pantai Suluban akses jalan malah jadi cafe dan ada bagian dari Pantai Sanur disewakan sebagai cafe. Menurutnya Perda Tata Ruang untuk ruang publik kurang banyak diprioritaskan hanya embel saja.
Barda Gemilang, arsitek dari komunitas peneliti ruang publik Capybara UV memaparkan sejarah ruang publik di Indonesia yang terbentuk dari masa lampau. Ruang ini diadopsi kota-kota besar dunia dan di dalamnya ada pemerintahan, distribusi pangan, namun di masa lalu ditutup atau dibentengi untuk melindungi raja. Hal yang sama juga muncul di Indonesia selama masa kerajaan kemudian masa kolonial. Denpasar di masa kolonial mengenal ruang publik seperti istilah catus pata ada puri, pasar, pura, dan plaza atau balai untuk aktivitas politik raja.
Ruang publik kota-kota di Indonesia menurutnya masih rancu dan ini termasuk pseudo public space, contohnya taman kota bisa dimanfaatkan tapi ada aturan misal larangan sampai malam. Contoh lain, Sanur kelihatannya ruang terbuka tapi ada daerah yang dikuasai komersil.
“Termasuk pemakaman jika dimasukkan ruang publik. Apakah bisa dimanfaatkan oleh publik untuk piknik?” tanyanya. Ruang terbuka hijau harusnya tidak bisa dialihfungsikan.
Sayangnya karena kurang ruang publik, warga sering memanfaatkan untuk hal pribadi seperti pernikahan dan berjualan.
Dalam ruang publik, menurutnya yang perlu diutamakan adalah pejalan kaki, karena itu saat era kolonial ukuran trotoar minimal 5 feet atau 1,5 meter. Dari sana istilah pedagang kaki lima muncul. Ruang terbuka hijau sangat diperlukan Kota Denpasar saat ini tak hanya untuk rekreasi juga mitigasi bencana sebagai area resapan, tempat mengungsi, dan menampung air hujan sementara seperti ecopark di Jakarta.
Ruang Terbuka Hijau Publik (RTH) idealnya minimal 20% dari total luas kawasan perkotaan. Namun berbagai pembangunan pariwisata khususnya di Bali sering kali tidak diiringi oleh pembangunan ruang publik sebagai ruang ketiga yang menjadi kebutuhan masyarakat.
Alih fungsi lahan di Kota Denpasar sangat tinggi. Dari rangkuman data ReBuilt, koalisi pembangunan regeneratif mencatat, perubahan tutupan atau alih fungsi ini lebih dari 5000 Ha dalam kurun waktu 30 tahun. Pada 1994, lahan terbangun hanya 30% namun pada 2024 menjadi 70%.


No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com