Menyoal Predikat Wartawan Seumur Hidup - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

3/23/16

Menyoal Predikat Wartawan Seumur Hidup


Ilustrasi
Oleh: Romi Sudhita *
        Kalimat seumur hidup” acap dipakai dalam sebuah percakapan, perbincangan, identitas, dan sebuah penerbitan. Kita sering mendengar ungkapan “Pendidikan seumur hidup,” kemudian yang melakukan kejahatan ekstra berat lalu dijatuhi hukuman “seumur hidup.”

      Mereka yang berumur 60 tahun ke atas atau sering disebut berkepala-enam mendapat kartu tanda penduduk (KTP) dengan predikat KTP “seumur hidup.” Di samping itu ada pula sebutan profesi wartawan “seumur hidup.” Arti dari kalimat ini pun tidak begitu sulit untuk ditebak karena sudah jelas sekali bahwa wartawan sebagai sebuah profesi ada yang tergolong “seumur hidup.” Maksudnya, ketika ia memulai menjadi wartawan, lalu terus menekuni profesi yang menjadi pilihannya itu hingga hayat semasih dikandung badan alias sampai yang bersangkutan menghembuskan nafas yang terakhir.

      Apa semua wartawan itu “seumur hidup ?” Belum tentu. Wartawan jenis lain masih ada, seperti wartawan abal-abal alias bodong, wartawan bodrex alias angin-anginan, wartawan tanpa surat kabar (WTS), wartawan muncul tanpa berita (Muntaber), dan lain-lain termasuk wartawan gadungan yang kerjanya hanya memeras sumber berita.

     Made Nariana, wartawan senior yang juga menulis buku “Profesi Wartawan Seumur Hidup (2015)” beranggapan bahwa wartawan itu memang profesi seumur hidup yang berkonotasi semasih tangan dapat mengetik di komputer, pikiran masih normal, fisik masih fit, maka yang bersangkutan (wartawan) tidak boleh berhenti menulis.  

     Ia menegaskan, “Saya selalu menekankan kepada semua staf dan wartawan bahwa umur boleh semakin tua namun tulisan dan karya jurnalistik kalian harus tetap atraktif, genit, enerjik, dan jika perlu mencubit.” Tampaknya ia sendiri sudah membuktikan ---semacam testimoni--- begitu pensiun dari tempat kerjanya di Harian Bali Post pada tahun 2011 (dimulai sejak 1970), dengan istirahat setahun, lalu ia hengkang ke koran Bali Tribune, dan hanya bertahan satu tahun di sana. Penyebabnya,  karena visi dan misinya tidak sesuai dengan koran yang dimasuki yaitu lantaran pemiliki koran terlalu mencapuri urusan keredaksian. Setelah itu, melalui perbincangan yang boleh dibilang “kebetulan” di sebuah bandara (Jakarta) dengan orang yang ternyata owner Radio Gema Merdeka (Dr. I Gusti Ngurah Oka) lalu disepakatilah mendirikan koran Pos Bali terhitung sejak 17 Juni 2012.

Keringat Dingin
     Oke, kita lupakan cerita pendek Bung Nariana tadi dan secara universal bisa kita kaji tentang ABC-nya wartawan yang dahulu dijuluki sebagai kuli tinta. Menjadi wartawan, lebih-lebih yang masih menyandang predikat pemula tentu tidak selancar dan sehebat seniorannya. Katakanlah ketika mendekati sumber dengan maksud wawancara untuk menggali sejumlah informasi. Wawancara bisa jadi lancar sesuai waktu yang dialokasikan, tapi begitu mulai mengetik hasil wawancara tersebut, keringat dingin pun mengalir di sekujur tubuh. Si wartawan muda merasa kesulitan menyusun berita pendek (berita pendek/straight news) yang dikoridorioleh formula 5W + 1H (Apa, Siapa, Di mana, Kapan, Mengapa, dan Bagaimana) suatu peristiwa itu terjadi. Lebih-lebih teori kepenulisan dan aturan-aturan bagaimana membuat berita yang baik belum ia dapatkan. Ditambah lagi belum paham apa itu Kode Etik Jurnalistik/Wartawan. Tentu saja di benak wartawan muda (biasanya sangat idealis) juga belum terlintas yang namanya  pakem-pakem sebuah berita. Singkat kata, semuanya gelap-gulita yang ia rasakan.

     Asah otak dan asah pena pun terus dilakukan oleh si wartawan muda (yunior), sehingga sampailah ia kepada kemampuan yang dipersyaratkan. Yang sangat membanggakan bagi setiap wartawan muda tentu saja ketika tulisan (berita) nya berhasil dimuat. Entah di koran lokal, koran daerah, maupun koran berlevel nasional. Senangnya bukan main, seakan belum berpikir soal honor yang bakal diterimanya.

     Anehnya lagi, berita yang dimuat oleh surat kabar di mana ia bekerja, bukanya ditaruh di atas meja atau dimasukkan ke dalam laci, melainkan terus saja dibolak-balik, dilihat, dibaca berulang-ulang, senangnya bukan main bagaikan orang yang lagi mendapat undian bernilai ratusan juta.

Semasih Sehat
    Predikat “wartawan muda” tidak boleh disandang terus menerus, sejalan dengan bertambahnya usia maka profesi itupun harus senantiasa meningkat dari wartawan muda, kemudian menjadi wartawan senior, hingga batas waktu yang tidak terhingga secara linier.

      Seumur hidup” begitulah predikat yang pantas disandang kalau yang bersangkutan masih sehat, kaki masih normal, mata tidak kabur, tangan tidak gemetar setiap menyentuh huruf-huruf yang ada pada keyboard sebuah komputer dan/atau laptop, dan tentu saja otak masih waras. Setiap jurnalis (sebutan lain dari wartawan) sangat diharapkan, bahkan diharuskan untuk melumat semua isi dari undang-undang, peraturan, dan segala ketentuan yang mesti dimilikinya.

     Katakanlah misalnya, Undang-Undang yang mengatur tentang kehidupan pers yakni UU No. 40 Tahun 1999, UU No. 32 Tahun 2002 tentang “Penyiaran” (kalau ia bekerja di media radio dan/atau televisi), Kode Etik Jurnalistik, dan lain-lain.

     Dari hasil kajian sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut sangat diyakini bahwa si wartawan akan mampu mewujudkan profil wartawan yang ideal, terbebas dari cemooh masyarakat. Jangan sampai muncul pertanyaan dari masyarakat, “Oh ini toh wartawan kita yang membuat berita tidak benar dan menyesatkan pembaca ?” Sebaliknya, pujian masyarakat akan berbunyi “Inilah wartawan kita yang bonafid dan berkualitas.”

     Wartawan yang dikatakan berkualitas biasanya disandingkan dengan persyaratan seseorang untuk bisa menjadi wartawan yang baik. Persyaratan tersebut, mengacu pada ketentuan Biro Kursus Jurnalistik Terbuka (BKJT) “Koresponden,” Jakarta, 1988, yaitu ada tiga hal pokok; mempunyai bakat (syarat utama), berpengetahuan luas, dan berkepribadian yang menawan.

Tiga Syarat Pokok
      Pembawaan atau bakat yang dikatakan sebagai syarat utama sangat masuk akal karena hal itu berkaitan dengan minat.  Artinya, orang yang minatnya besar untuk menulis diasumsikan memiliki bakat yang besar di bidang penulisan, begitu juga sebaliknya orang yang berbakat di bidang tulis-menulis diprediksi akan akan memiliki minat pada bidang tersebut.
      Tidak hanya di bidang kewartawanan, di bidang lainpun seperti itu.  Katakanlah di profesi guru, kalau mereka tidak memiliki bakat jangan harap mereka itu dapat bekerja dengan baik. Malah yang terjadi sebaliknya, mereka (guru) selalu melihat hari libur di kalender/penanggalan, sering bolos, dan merasa tersiksa menjadi guru.

      Kedua, masalah pengetahuan luas. Pengetahuan luas dapat meliputi pengetahuan di bidang ilmu komunikasi atau ilmu jurnalistik (pengetahuan spesialis) dan dapat berupa pengetahuan yang bersifat umum (generik). Jenis pengetahuan apapun tetap diperlukan bagi seorang wartawan sejalan dengan pandangan Pulitzer, seorang wartawan legendaris asal Hongaria, yang mengatakan bahwa “Wartawan harus dididik, tanpa dididik atau mememiliki pengetahuan yang luas mustahil menjadi wartawan yang baik.”

     Ketiga, wartawan harus memiliki kepribadian yang menawan. Kriteria ini memiliki varian yang lebih banyak dibandingkan persyaratan pertama dan kedua. Pribadi menawan, seperti; memiliki inisiatif untuk mengejar berita, jujur, adil, obyektif, punya kreativitas, bertanggung jawab, menekuni profesi, selalu ingin tahu, teliti, memiliki hidung berita yang baik, rendah hati, dan memiliki komitmen untuk mengabdi kepada kepentingan umum. Apapun kriteria yang dijadikan patokan untuk menjadi wartawan (mulai dari pemula/yunior hingga jelang dipanggil Yang Maha Kuasa) kalau tidak diniati secara serius tentu bakalan kandas  di tengah jalan. Mudah-mudahan rekan wartawan yang ada kini berikhtiar menjadi wartawan seumur hidup. Kepalang basah mandi sekalian.

*)Penulis, pemerhati pendidikan dan pengamat perilaku


No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com