Dewata
News.com - Maksudnya, Orang Bali jual tanah
untuk beli bakso, sementara Orang Jawa jualan bakso untuk beli tanah di Bali.
Sebuah pemeo populer yang sering diungkapkan oleh semeton Bali untuk menyindir
fenomena Sosial-Ekonomi yang sedang berlangsung, khususnya terkait alasan
mengapa Orang Bali kian tersisih di tanahnya sendiri.
Meskipun pahit, tetap harus saya sampaikan bahwa pemeo di atas memang ada
benarnya; ketersisihan orang Bali sedikit-banyak juga di pengaruhi oleh
perilakunya sendiri, disamping faktor-faktor eskternal.
Ungkapan “Nak Bali ngadep tanah meli bakso, Nak Jawa ngadep bakso meli tanah”
jelas tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan mental apalagi menjelek-jelekkan atau
menghina orang Bali. Melainkan lebih dimaksudkan sebagai oto-kritik, agar sadar
thus bisa melakukan koreksi-sendiri terhadap perilaku itu.
Pedagang
Bali Kalah Bersaing
Tidak mungkin hasil jual tanah miliaran semuanya dihabiskan untuk beli bakso.
Sebagiannya mungkin digunakan untuk Ngaben atau upacara adat/agama lainnya
(alasan jual tanah paling popular di Bali). Lalu ada juga yang digunakan untuk
beli mobil SUV seri terbaru (ini alasan jual tanah terpopuler kedua). Sisanya
untuk senang-senang, entah main ke café, jalan-jalan, dan lain sebagainya,
termasuk beli bakso tentunya bagi yang doyan bakso.
“Setelah hasil penjualan tanah ludes lalu ikut-ikutan teriak BALI NOT FOR
SALE! Sambil mengepalkan tangan hihihi…” celetuk Gek Alit, seorang karywati
Bank yang kebetulan tinggal di sebelah rumah dan kerap belanja di warung tempat
saya biasa nongkrong, sambil cekikikan, saat saya dan beberapa kawan ngobrol
tentang fenomena konversi sawah menjadi beton, beberapa bulan lalu.
Apa yang
disampaikan Gek Alit itu tidak benar.
Yang
saya tahu gerakan “BALI NOT FOR SALE” itu dilakukan oleh organisasi, bukan
perorangan, dan ditujukan kepada pihak berwenang agar tidak “menjual Bali.”
Sedangkan keputusan menjual tanah kan sepenuhnya hak masing-masing pribadi
pemegang sertifikat hak milik, bukan hak pemerintah. Jadi, tidak ada
hubunganya, out of contex.
Lagipula saat ini sudah jarang ada Orang Bali yang jual tanah. Karena memang
sudah tidak ada tanah berukuran luas lagi, terutama di daerah perkotaan. Yang
ada paling beberapa are. Itupun dikontrakkan dan hasilnya dijadikan modal usaha
kecil-kecilan, bukan untuk foya-foya.
Masalahnya
sekarang, berjualanpun Orang Bali kalah bersaing dengan pendatang, khususnya di
skala kecil. Ini yang ingin saya sampikan. Dan sama halnya dengan pemeo di
awal tadi, tulisan inipun tidak dimaksudkan untuk menjelek-jelekkan atau
mendiskredit orang Bali. Sebaliknya, justru karena rasa peduli dan harapan
besar agar semeton Bali—khususnya para pedagang dalam konteks ini—bisa
melakukan perbaikan. Sehingga ke depannya lebih mampu bersaing di tanah
sendiri, sementara pemerintah tak berdaya mengatasi membludaknya arus masuk
pendatang.
Sekali lagi ini kenyataan pahit namun harus saya sampaikan ke publik bahwa
memang pedagang Bali kalah bersaing dengan pendatang, khususnya pada skala
kecil. Tak perlu riset dan analisis statistikal, ini fakta yang saya saksikan
bahkan alami sehari-hari; pedagang asli Bali pada umumnya kalah bersaing
dibandingkan pedagang pendatang.
Khusus
warung Nasi Lawar dan Babi Guling, bisa saya mengerti jika kalah ramai
dibandingkan dengan warung soto atau bakso atau sate kambing atau ayam goreng
lalapan. Sebab Lawar dan Babi Guling memang hanya dikonsumsi oleh Orang Balinya
saja, sementara warga pendatang yang saat ini sudah nyaris 50% dalam komposisi
kependudukan di daerah perkotaan ‘kan tidak makan lawar atau babi guling.
Sedangkan soto, bakso, sate kambing dan ayam lalapan dimakan oleh semua orang,
termasuk orang Balinya.
Saya
juga tak heran ketika karyawan di Denpasar-Kuta-Jimbaran-Ubud dan sentra-sentra
pariwisata lainnya mengeluh kesulitan mencari tempat makan saat musim libur
idul Fitri tiba. Sebab makan Nasi Lawar dan Babi Guling tiap hari selama
beberapa minggu memanglah membosankan. Sesekali tentu ingin makan soto, bakso,
sate, atau nasi campur non-Bali. Logis dan mudah dinalar.
Namun, menjadi
pemandangan aneh ketika:
Warung soto ayam pedagang
Bali tak seramai warung soto ayam milik pendatang; atau
Warung nasi campur milik
orang Bali tak seramai warung nasi campur pendatang padahal lauknya sama-sama
tempe, tahu, ikan laut, telor dan lain-lain tanpa babi samasekali; atau
Lapak sayur orang Bali di
pasar Kumbasari tak seramai lapak sayur pendatang di pasar yang sama; atau
Toko kelontong milik orang
Bali yang menempati Ruko tak seramai warung kelontong pendatang yang hanya
menempati bangunan semi-permanen bahkan bedeng.
Saya penyuka ikan laut. Suatu hari istri saya terpaksa tak masak ikan laut
gara-gara Ibu Nur tidak jualan, padahal masih ada puluhan pedagang ikan di
pasar. Dan masih banyak fenomena aneh lainnya yang saya amati dan alami
sendiri.
Apa yang tak beres?
Entahlah. Yang jelas, setidaknya menurut saya pribadi, ada 9 hal yang bisa
dicontoh oleh semeton pedagang Bali dari pendatang agar lebih mampu bersaing,
sebagai berikut:
Gambar: Ilustrasi. Source: Kompas.com
Sebelum beli tentu dia menanyakan harga per kilonya. Bukannya dikasih tahu
berapa harganya malah ibu itu dengan ketus berkata “Idih olas ampunang nawah!
Nak maal jani be, keweh alih-alihane di pasih!” (=tolong jangan menawar harga!
Sekarang ikan mahal, susah nangkep di laut), padahal istri saya baru nanya
berapa harga per kilonya, belum sempat nawar.
Tak suka dengan sikap dagang itu, disamping anak saya ke-2 merengek mau jalan
terus, tanpa ba-bi-bu istri saya ngeloyor pergi. Namun ibu itu tak terima lalu
berteriak, “weeee buuukkk! Kone kal meli be, nguda megedi?!” (=eh buuuu!
katanya mau beli ikan, koq ngeloyor pergi?).
Lalu istri saya balik dan mengatakan ia pergi karena mengira ikannya tidak
dijual. Ibu itu pun akhirnya memberi tahu berapa harga ikannya. Karena terlalu
mahal istri sayapun ngeloyor lagi tanpa mengeluarkan satu patah
katapun. Ya jelaslah istri saya ngeloyor pergi tanpa berkata apa-apa,
sebab sudah diperingatkan untuk tidak menawar. Jika ditawar nanti pedagang
ikannya ngomel lagi, sementara untuk beli juga tak mungkin sebab harganya
terlalu mahal.
Namun ibu itu tak terima dan berteriak dengan kata-kata kasar, “Weee.. bang*at!
Ba orahin harga masi megedi buin, kengken keneh nyine?!” (=Woi bang*at! Sudah
dikasi harga ngeloyor juga, apa maumu?).
Karena
terlalu kasar, istri sayapun “membeli” sikap itu dengan mendatangi dan
memaki-maki balik pedagang ikan itu. Dan terjadilah keributan. Sejak saat itu,
istri saya ‘mesasat’ (=semacam bersumpah) untuk takkan pernah belanja ikan di
pasar itu selain di lapaknya Bu Nur.
Contoh lainnya dialami oleh tetangga. Saat sang istri pulang kampung, Pak Putu
membeli Nasi Babi Guling di daerah Tanjung Bungkak (Denpasar) untuk dirinya
sendiri dan 3 anaknya yang masih kecil. Tak mau anaknya kepedasan, maka saat
memesan dia minta agar tidak diisi lawar dan bumbu. Bukannya menyimak baik-baik
apa yang di pesan, ibu penjual nasi asik saja tek tek tek tek tek… mencincang
lawar.
Saat
mulai membungkus Pak Putu berusaha mengingatkan kembali agar tidak diisi bumbu.
Namun bukannya menyimak, dagang nasi itu malah berbicara dengan pembantunya
sambil terus membungkus nasi. Selesai bungkus baru bertanya “Apa orahang pak
mara?” (=Tadi bapak bilang apa?). Dengan sabar Pak Putu mengulangi
permintaannya sambil menjelaskan bahwa dirinya beli nasi untuk anak-anak yang
masih kecil. Namun dengan ketus dagang nasi lawarnya menjawab, “Tiyang ten
nerima pesanan khusus!” (=saya tidak menerima permintaan khusus!).
Pak Putu mengaku, sejak saat itu selalu berusaha menahan keinginannya untuk
makan nasi babi guling. Jika istri tak masak, katanya mendingan beli Soto Arema
atau Ayam Goreng Sari Laut Bang Edi yang kebetulan tak jauh dari rumahnya. Hal
ini tentu karena Pak Putu tak pernah menerima sikap tak ramah dari tukang Soto
Arema atau Sari Laut Bang Edi.
Sikap kasar dagang ikan dan dagang nasi babi guling itu sudah pasti tak
mewakili perilaku semua pedagang Bali (nyatanya istri saya tetap membeli sayur,
buah, bumbu, canang dan barang keperluan lain pada pedagang Bali). Namun
semeton pedagang ikan di pasar itu kiranya perlu belajar cara bersikap baik
pada pembeli dari Bu Nur. Dan, dagang nasi babi guling di Tanjung Bungkak itu
juga perlu belajar dari warung soto Arema atau Sari Laut Bang Edi.
2. Sigap Melayani Pembeli
Sigap melayani pembeli adalah karakter berikutnya yang perlu dicontoh oleh
pedagang Bali dari pedagang pendatang. Ini hasil perbandingan antara rumah
makan (merangkap catering) yang dikelola oleh Orang Bali dan dan pendatang.
Untuk tidak merusak nama/merk tertentu saya tidak mau nyebut nama/merk. Namun
keduanya lumayan besar, sama-sama cukup dikenal, sama-sama punya gerai
dimana-mana, sama-sama punya ratusan pegawai dan keduanya pernah menjadi
langganan kantor dimana saya bekerja.
Rumah
makan milik orang Bali ini posisinya cukup strategis, dekat pusat bisnis
sekaligus pusat pemerintahan. Cukup sering wara-wiri, sehingga saya pun kadang
mampir untuk makan siang di sana. Masakannya enak, khas Bali, harganya juga
terjangkau. Satu-satunya masalah yang membuat saya selalu menahan nafas setiap
kali makan di sana adalah leletnya pelayanan. Mereka bersikap seolah tak butuh
konsumen, lebih suka mengobrol antar waitress dibandingkan melayani pembeli.
Apalagi saat melayani pesanan nasi kotak dalam jumlah banyak, pembeli yang
langsung makan di sana harus menunggu sampai mereka selesai membungkus. Karena
hal ini pula banyak yang urung makan di sana, termasuk saya.
Kontras dengan rumah makan milik pendatang yang pernah jadi langganan kantor
dimana saya bekerja. Mereka begitu sigap dan gesit melayani pembeli. Meskipun
pembelinya 2x lebih ramai di bandingkan rumah makan milik orang Bali tadi, dengan
jumlah pegawai kurang-lebih sama, mereka bisa melayani pembeli dalam waktu
sangat singkat; antara 5 hingga 10 menit. Mereka juga melayani pesanan nasi
kotak dalam jumlah besar. Namun itu nampaknya tak pernah mengganggu pelanggan
yang langsung makan di tempat. Masakannya juga enak, khas, dan selalu fresh.
Harga per satu porsinya kurang lebih sama. Jadi tak heran jika rumah makan ini
selalu ramai. Dan dari kecepatan mereka menyajikan makanan saja sudah jelas
terlihat rumah makan kedua ini berdayasaing lebih tinggi.
3. Menghargai Uang Kecil
Di dekat tempat tinggal
saya, ada Toko lumayan besar (hampir sebesar mini market), menempati bangunan
ruko 2 lantai, dan menjual berbagai keperluan sehari-hari, mirip mini market
lah. Dari pelangkiran di atas meja kasirnya saya tahu pemiliknya orang Bali.
Tak jauh dari toko itu ada
toko kelontong kecil, hanya menempati bangunan semi permanen dengan tembok
batako yang masih telanjang, dan juga jualan barang kebutuhan sehari-hari. Yang
nungguin toko kelontong kecil ini sepasang suami-istri berusia 50-an, dan dari
pengakuannya mereka asli Jawa Timur, namun jadi PNS di Bali sejak muda hingga
pensiun.
Biasanya toko kelontong
kecil akan sepi jika di sebelahnya ada toko besar dengan barang dagangan yang
kurang lebih sama. Ini yang terjadi malah sebaliknya; sementara toko kelontong
milik pasutri dari Jatim itu selalu ramai, toko besar yang milik Orang Bali
bisa dibilang sepi pembeli. Setiap hari melewati toko itu, sangat jarang saya
melihat ada sepeda motor parkir di sana.
Gambar: Ilustrasi
Tak
tahan godaan itu, saya bersama istri dan anak yang awalnya hanya mau cari
barang tertentu pun mampir makan di salahsatu warung di sana. Sungguh di luar
dugaan; yang disajikan ke meja kami ternyata daging babi yang sudah sangat
kering, nampaknya sudah digoreng berkali-kali. Kulitnya hanya selebar 2 cm
persegi pun tipis dan tidak diambil dari babi guling yang mereka pajang.
Bumbunya pun sudah terasa agak-agak basi. Ini kan tergolong pengelabuan, jika
tak mau menyebut penipuan.
Saya
pikir siapapun akan kecewa terhadap pedagang yang berperilaku seperti demikian.
Jadi jangan salahkan jika kemudian semeton Bali pun lebih memilih makan bakso,
soto, dan gule kambing di warung sebelah.
Di
luar perilaku mengelabui pembeli, menjaga kualitas barang dagangan sangatlah
penting. Khusus makanan, kesegaran (freshness) mungkin menjadi hal yang paling
utama selain cita rasa. Kecuali yang memang jenis instant, tidak ada orang yang
mau mengkonsumsi makanan yang sudah tidak segar, apalagi sudah basi.
Kecenderungan pedagang menjual kembali makanan yang tak laku di hari sebelumnya
memang sulit dihindari. Namun saya kira hal ini bisa disiasati. Misalnya dengan
tidak memasak dalam volume yang berlebih—mungkin dengan mengira-ngira tingkat
keterjualan barang. Contohlah cara pedagang pendatang dalam mengelola barang
dagangannya, agar kualitas tetap terjaga.
5.
Ketersediaan Barang
Untuk
mengembangkan kreatifitasnya, tempo hari istri saya memesan meja kerja yang
permukannya ditutup kaca. Saat mejanya datang, dan diterima pembantu, eh
ternyata kacanya tidak pakai stopper pada keempat pojoknya; kaca hanya
diletakkan begitu saja di atas meja. Terpaksa saya carikan stopper untuk
dipasang sendiri.
Kemarin
saya keliling ke toko bahan bangunan. Mulai dari yang terdekat; kebetulan
pemiliknya orang Bali. Saat saya tanya apakah jual stopper kaca untuk meja,
jawaban dagangnya “tidak ada, coba di tukang kaca.” Mendengar jawaban itu,
langsung kebayang sulitnya mencari tukang kaca yang setahu saya jumlahnya tak
banyak.
Ilustrasi:
Ngayah di Bali.
Itulah 9 hal yang bisa semeton pedagang
Bali pelajari untuk bisa bersaing dengan pendatang. Saya sangat berharap agar
semua orang Bali mampu bersaing dan tetap memimpin di tanahnya sendiri. Agar
hal itu bisa terwujud, perlu kesadaran tinggi dan tekad kuat untuk membuang
kebiasaan-kebiasan kontra produktif dan memperbanyak hal-hal sebaliknya. Jika
hal-hal positif yang bisa dicontoh dari pendatang saya pikir tak ada salahnya
untuk dilakukan. Bagaimanapun juga, memperbaiki diri sendiri jauh lebih berguna
dibandingkan menyalahkan persaingan yang terjadi.
Saya paham bahwa ada hal-hal fundamental
yang membuat tantangan persaingan menjadi lebih besar di sisi semeton jika
dibandingkan dengan pendatang. Aktivitas adat misalnya; wajib dipenuhi oleh
semeton Bali, sementara samasekali tidak bagi pendatang. Hal ini membuat
warung/toko semeton Bali menjadi lebih sering tutup dibandingkan milik
pendatang. Dan, secara keseluruhan, membuat upaya yang dibutuhkan juga lebih
keras.
Namun, saya pikir hal itu masih bisa
disiasati. Misalnya dengan menugaskan anak/ponakan/adik/anggota keluarga
lainnya untuk jaga warung atau toko. Kalau perlu mungkin bisa angkat pegawai
seperti yang dilakukan oleh minimarket-minimarket. Sedangkan untuk “menyamabraya”
mungkin tetap bisa dilakukan oleh salahsatu anggota keluarga saja, misalnya:
ayah saja atau ibu saja atau anak tertua saja.
Bagaimanapun juga, perlu fleksibilitas di
sisi awig adatnya itu sendiri. Sebab jika tidak, suatu
saat nanti—ketika persaingan hidup makin ketat—akan sampai pada titik pilihan
antara: tetap mempertahankan adat ATAU meninggalkannya. Agar hal itu tidak
terjadi, perlu perubahan gradual, sehingga masih punya kesempatan untuk memilah
mana yang prinsipiil thus harus dipertahankan, dan mana yang tidak prinsipiil
thus boleh fleksibel.
Di luar beban kewajiban adat, berada di
zona aman karena merasa berada di daerah sendiri, apalagi jika masih punya
tanah warisan, mungkin juga membuat daya-juang menjadi kurang maksimal. Namun
yang namanya harta, sebanyak apapun, jika tak dikelola dengan baik lama-lama
juga habis, lalu tanpa disadari tahu-tahu “permukaan air sudah nyaris menyentuh
hidung,” jika tak segera bangkit sebentar lagi bisa tenggelam. Ayo bangkit
semeton Bali, dan jadilah tuan di tanah sendiri!
Bagaimana menurut
semeton pembaca?








No comments:
Post a Comment
Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.
Terimakasih
www.dewatanews.com