Saat Negara Disadap, Mengapa Media Salah Sasaran? - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

11/19/13

Saat Negara Disadap, Mengapa Media Salah Sasaran?

bin





Pemberitaan Terkait Spionase : Salah Sasaran

Oleh : Masdarsada, MSi *)


Amerika Serikat ketangkap basah menyadap negara yang dianggapnya musuh atau pesaing potensial, termasuk Indonesia di dalamnya, tentu saja patut dikecam. Tapi sayangnya media massa kita mengembangkan angle (sudut pandang) pemberitaannya ke arah yang salah sasaran alias menggeser isu.

Betapa tidak.Hanya gara-gara terbongkarnya praktek penyadapan yang merupakan bagian integral dari kegiatan spionase Amerika Serikat dan Australia, lantas beramai-ramai memaksa Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mempertunjukkan rencana aksinya, dan lebih parahnya lagi, mendesak BIN untuk memanggil divisi intelijen dari kedutaan-kedutaan besar asing terkait dugaan penyadapan untuk mengklarifikasi praktek penyadapan yang dilakukan.

Sisi krusial dari peliputan seputar praktek penyadapan Amerika dan Australia, beberapa media massa justru tidak mengembangkan secara lebih mendalam latar belakang mengapa Edward Snowdeen yang mantan kontraktor National Intelligence Agency (NSA) itu, membocorkan aksi penyadapan yang dilakukan Amerika lewat NSA dan Australia melalui badan intelijennya Defense Signals Directorate (DSD) terhadap puluhan Negara di dunia termasuk Indonesia.



Research Journalism Perlu Ditingkatkan

Ada kesan para jurnalis muda sekarang kurang tajam dalam apa yang dinamakan research journalism. Sehingga tidak memahami konteks sebuah liputan khusus yang mengangkat satu topik tertentu, sehingga seringkali dalam mengolah sebuah isu menjadi sebuah tema berita, kemudian bergeser dari isu yang seharusnya digali dan didalami lebih jauh.

Hal ini nampak kelihatan jelas dalam peliputan seputar aktivitas spionase NSA Amerika Serikat maupun DSD Australia, karena pada perkembangannya liputan berita tersebut mencampur-baurkan antara kerja intelijen dan kerja spionase. Para jurnalis muda sekarang malas melakukan kerja-kerja riset seputar isu intelijen dan spionase, sehingga dalam peliputannya tidak didasari pemahaman tentang paradigma dan prinsip kerja intelijen itu sendiri. Sehingga mengabaikan sebuah fakta penting, bahwa spionase yang mana penyadapan adalah satu aktivitasnya.Sejatinya  hanyalah salah satu bagian dari kerja intelijen.

Meluruskan Paradigma dan Prinsip Kerja Intelijen

Pertama hendaknya dipahami bahwa dari sudut pandang paradigma intelijen, ini adalah dunia “telik sandi,” sebuah dunia yang mensyaratkan adanya kerahasiaan pada tingkatan yang maksimal (Secrecy). Sehingga jika ada para pihak, tak perduli dari mana sumbernya, mendesak BIN untuk menjadikan dirinya sebagai Lembaga Intelijen sebagai Lembaga Demokrasi yang transparan seperti halnya lembaga-lembaga negara lainnya, harus kita pandang sebagai usaha memperlemah lembaga intelijen kita dengan dalih demokratisasi.

Politik pemberitaan yang salah sasaran tersebut nampak jelas dalam berita yang diangkat oleh salah satu situs berita nasional, ketika mengangkat judul berita Bukannya Menangkal Intelijen Asing, BIN Malah Digunakan Memata-matai Musuh SBY.

Saya tidak menyangkal sepenuhnya isi berita yang sebenarnya hanya kutipan wawancara dengan seorang narasumber, Jeppri F Silalahi dari Indonesia Law Reform Institute. Karena secara substansial, pandangan Jeppri Silalahi ada benarnya jika semata diangkat dalam konteks mengritisi kinerja BIN selama ini. Namun mengaitkan kinerja BIN dalam konteks isu besar meliput implikasi dari bocoran Edward Snowdeen terkait aksi spionase NSA Amerika dan DSD Australia, maka yang terjadi kemudian, media massa justru secara sadar atau tidak sadar, telah menggeser isu besar terbongkarnya Aksi Spionase AS dan Australia, menjadi isu sektoral Menyorot Kinerja BIN.

Padahal, melalui politik keredaksian yang ditetapkan oleh pemimpin redaksi atau redaktur pelaksana sebuah media, seharusnya para reporternya dipandu dan diarahkan  untuk menggali ke kedalaman apa yang sesungguhnya terjadi di balik aksi spionase Amerika dan Australia. Serta dampaknya bagi negara-negara sasaran penyadapan, termasuk Indonesia. Bocoran-bocoran informasi macam apa saja yang selama berhasil disadap NSA dan DSD terhadap Indonesia, seberapa besar kerusakan yang ditimbulkan akibat  bocoran-bocoran informasi yang  berhasil disadap oleh para agen-agen spionase Amerika dan Australia terhadap Indonesia.

Lantas, media massa seharusnya menggali lebih dalam, sektor-sektor strategis mana saja dalam jajaran pemerintahan SBY maupun sebelumnya, yang kiranya berhasil ditembus oleh agen-agen NSA dan DSD, dan agen-agen lokal mana saja yang berhasil digalang untuk mendukung aksi spionase NSA dan DSD.

Sebagai akibat dari politik keredaksian sebuah media, maka kesalahan bukan terletak pada isi wawancara dari narasumber, melainkan sudut pandang (angle) pemberitaan yang mereka ambil. Sehingga sadar atau tidak liputan tersebut bukannya mengembangkan lebih lanjut untuk membongkar sepak-terjang aksi spionase Amerika dan Australia maupun membongkar skema Operasi Intelijen AS dan Australia selama ini, melainkan malah ikut-ikutan memainkan gendang dan irama permainan negara-negara asing tersebut, dengan mendesak BIN untuk menggugat prinsip-prinsip kerja intelijen kita sendiri.

Padahal seharusnya dari awal kita sadari, andaikata pun keberhasilan aksi spionase dan penyadapan pihak Amerika dan Australia tersebut kita pandang sebagai gagalnya BIN maupun beberapa instansi terkait penanganan keamanan nasional, bukan berarti kita harus menggugat prinsip-prinsip kerja intelijen.

Pada tataran ini, research journalism para wartawan atau reporter sebelum meliput pemberitaan terkait isu intelijen dan spionase, sebaiknya perlu dilakukan. Dengan begitu, setidaknya para wartawan akan mengenali beberapa hal penting terkait prinsip dan prosedur kerja intelijen.

Pertama, Operasi intelijen itu banyak macamnya, tapi sifatnya hanya dua: STRATEGIS dan TAKTIS. Operasi strategis dilakukan untuk memampukan atau memberdayakan sebuah organisasi dalam upayanya mengumpulkan data dan informasi dalam jangka waktu yang lama.

Kedua, dalam skema operasi intelijen, pengumpulan informasi didapat dari dua sumber: metode tertutup dan terbuka. Dalam metode tertutup atau lazim dikenal sebagai spionase, informasi didapatkan melalui kegiatan pengintaian yang rumit dan rahasia. Dan salah satunya, melalui penyadapan. Namun penyadapan hanya salah satu cara dari metode tertutup dalam pengumpulan informasi yang berada dalam panduan skema Operasi Intelijen. Sedangkan metode terbuka, sumber-sumber informasi didapatkan dari media-media massa baik cetak maupun elektronik, termasuk media sosial di internet. Nah, karena kaitan tulisan ini fokus pada pengumpulan informasi sebagai bagian dari metode tertutup, maka menjalankan metode tertutup, agen intelijen dituntut mampu melakukan kamuflase atau penyamaran.

Berarti, selain mensyaratkan kerahasiaan sebagai bagian dari paradigma dan fungsi intelijen, pada saat yang sama kerja intelijen itu sekaligus juga merupakan seni. Sehingga para pelakunya pun, harus punya cita rasa seni. Atau di dalam dirinya, mengandung bakat-bakat khusus sebagai seniman. Yang lebih mengaktifkan otak kanannya (Intuitive Mind) ketimbang otak kirinya (Logika).

Sekadar salah satu contoh lain terkait spionase sebagai bagian dari metode tertutup dalam pengumpulan informasi adalah kisah tentang Tzipi Livni, mantan Menteri Luar Negeri Israel antara 2006-2009.

Sebagai mantan agen MOSAD pada decade 1980-an, terungkap bahwa Livni pernah berhubungan dengan sejumlah pejabat tinggi Arab termasuk mantan Emir Qatar, Syeikh Hamad, untuk mengorek informasi dari mereka.Bukan itu saja. Bahkan Livni dikabarkan pernah menjadi partner sex dari dua petinggi PLO (Palestine Liberation Organization) yaitu Saeb Erekat sebagai juru runding senior Palestina dan Yaser Abdrabo, sekrataris komite eksekutif PLO.

Dari sudut pandang aktivitas spionase dan skema Operasi Intelijen Israel, apa yang dilakukan Livni merupakan sukses besar. Sekaligus gambaran betapa intelijen Israel memahami betul apa prinsip kerja intelijen yang sesungguhnya.

Dalam konteks success story Livni, agen MOSAD yang saat ini menjabat Menteri Kehakiman pada pemerintahan Israel, dengan terang-benderang mempertunjukkan kebolehan agen-agen intelijen Israel dalam menghayati permainan intelijen, yang mana spionase termasuk di dalamnya.

Betapa dalam menjalankan aktivitas spionase sebagai bagian dari pengumpulan informasi melalui metode tertutup, para agen intelijen harus pintar berbaur dan harus mampu menutupi penyamarannya. Konsekuensinya, kalau penyamaran terbongkar, misi gagal, maka si agen tidak akan diakui sebagai agen.

Ini sisi penting yang diabaikan para jurnalis media massa kita sekarang, betapa kerahasiaan adalah mutlak melekat pada Paradigma dan Prinsip Kerja intelijen itu sendiri, apalagi ketika terkait dengan Spionase sebagai bagian dari pengumpulan informasi melalui metode tertutup.



Kontra Intelijen

Karena itu, angle pemberitaan media massa kita yang cenderung malah menyorot kegagalan intelijen kita, terutama BIN dan lembaga lainnya dalam menangkal aksi spionase NSA Amerika maupun DSD Australia, pada perkembangannya media massa kita malah jadi sarana Kontra Intelijen negara-negara Asing untuk melemahkan Lembaga Intelijen Kita.

Kenapa media massa kita justru tidak mengungkap betapa bocornya penyadapan AS dan Autralia melalui informasi Edward Snowedeen, menggambarkan betapa lemahnya kualitas agen-agen NSA dan DSD sebagai  penyadap?

Mengapa media massa kita malah mengembangkan sebuah wacana bahwa Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) seharusnya mengusut penyadapan-penyadapan yang diributkan baru-baru ini. Bukankah wewenang Lembaga ini sangat teknis sebagai pelaksana penyandian agar informasi yang dikirimkan tidak terbaca pihak lain. Decoding dan encoding. Sehingga sangat teknis sifatnya. Bayangkan jika kemudian hal ini dibuka ke publik, apa tidak semakin runyam negeri kita ini?

*) Penulis adalah analis senior di Forum Dialog dan alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia.

(Suluh Bali)

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com