Celak Kontong Lugeng Luwih di Pura Dalem Tamblingan - Dewata News

Breaking News

Gold Ads (1170 x 350)

7/9/17

Celak Kontong Lugeng Luwih di Pura Dalem Tamblingan


Buleleng, Dewata News.com —Kaldera tua Gunung Beratan di pinggiran Danau Tamblingan di masa lampau sempat menjadi tempat hunian warga. Mereka menyebut diri sebagai karaman i Tamblingan, berprofesi teknolog, pande besi.
 
     Di tepian jalan raya Asah Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, sekawanan turis mancanegara asyik menikmati keindahan Danau Tamblingan yang berada nun jauh di bawah. Alam sekitar nan hijau dan air danau yang membiru memancarkan pemandangan menakjubkan, memang. Sesekali para turis Eropa itu memotret, mengabadikan diri, seakan tak mau melewatkan begitu saja suasana indah di depan mata.
 
    Danau Tamblingan yang dikelilingi Bukit Lesung, Bukit Pohen, dan Asah Munduk ini amat mempesona, memang. Sulit dipungkiri, banyak orang tahu akan hal itu. Tapi, takkan banyak yang mengetahui, bila di pinggiran danau, terutama di sisi timur, sejatinya pernah menjadi hunian sekelompok orang di zaman Bali purba. Mereka inilah yang lumrah disebut karaman i Tamblingan (warga Tamblingan).
 
    “Dulu, di mana ada sumber air, maka di sanalah orang memilih tinggal. Orang-orang akan kesulitan hidup tanpa ada air,” papar peneliti situs Tamblingan, I Gusti Made Suarbhawa, dari Balai Arkeologi Denpasar.
 
    Keberadaan karaman i Tamblingan dapat dilihat dari beberapa prasasti yang ditemukan di pinggiran danau serta pada beberapa tempat suci yang tersebar di sekitar danau. Berita tertua yang menyebutkan keberadaan Desa Tamblingan terdapat dalam prasasti Gobleg Pura Batur A yang ditemukan saat warga mengadakan perluasan Pura Endek, di kawasan hutan, sebelah timur Danau Tamblingan, Oktober 2002.
 
    Tinggalan bertipe yumu pakatahu itu tanpa disertai angka tahun, namun dari nama-nama pejabat yang termuat diduga berasal dari Raja Ugrasena yang memerintah di Bali pada 837–858 Saka (915–936 Masehi).
 
    Dalam prasasti berbahan tembaga berbahasa Bali Kuno ini, seperti dikutip Luh Suwita Utami, dalam skripsinya, “Kehidupan Masyarakat Tamblingan Abad X – XIV: Kajian Epigrafis” disebutkan: “... yumu pakatahu sarba anug, dinganga astra, nayakan makarun kulang-kaling, manuratang ajnanda, kesawa, adapnah anak banua di adapnah anak banua di tambli... ngan ...”.
Artinya: ”... karena itu ketahuilah bahwa Arbwa adalah Anug, Dinganga bernama Astra, Nayakan Makarun adalah Kulang Kaling, juru tulis raja adalah Nanda dan Kesawa adalah tempat penduduk di Desa Tamblingan ....”
 
    Jika mencermati isi prasasti tadi, maka pada abad X Masehi telah ada pemukiman bernama Tamblingan, termasuk menunjukkan jenis jabatan di Bali pada masa itu.
 
   Prasasti Gobleg Batur A, ingat Suita Utami, ada menyebutkan perihal pungutan yang harus diserahkan berkaitan dengan bangunan suci, termasuk pengelolaan warisan bagi warga yang putus keturunan. Harta warisan yang putus keturunan ini digunakan untuk keperluan perbaikan tempat suci.
 
     Artinya, pada zaman pemerintahan Raja Ugrasena di Bali, Desa Tamblingan sudah mendapat perhatian khusus penguasa. “Dalam prasasti Gobleg Batur B juga ada menyebut-nyebut tentang Desa Tamblingan,” Gusti Suarbhawa mengingatkan. Prasasti ini diperkirakan terbuat pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu di Bali, tahun 971-999 Saka (1049-1077 Masehi).
 
     Dalam prasasti ini, selain menyebut-nyebut istilah anakbanua di Tamblingan (dusun di Tamblingan) serta karaman i Tamblingan (penduduk Desa Tamblingan), juga memuat berbagai persoalan yang diselesaikan raja di Bali saat itu, melalui anugerah prasasti. Tujuannya, demi kesejahteraan penduduk Tamblingan.
 
     Ada pula memuat permohonan karaman i Tamblingan agar dibebaskan dari kewajiban puncagiri, membuat gubuk, membuat pintu di Manase serta menyebutkan tentang iuran, pungutan, termasuk profesi masyarakat Tamblingan yang telah mengenal sistem bercocok tanam.
Warga Tamblingan pada masa ini juga dibebaskan dari berbagai jenis pungutan berkenaan dengan kerajinan besi dan perak, menyangkut pemeliharaan ternak, dan pungutan lainnya.
 
     Tahun 1987, para peneliti dari Balai Arkeologi Denpasar melakukan penelitian pada lempengan prasasti tembaga yang ditemukan Pan Niki, warga dari Desa Wanagiri, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, saat yang bersangkutan melakukan penggalian di pinggir sebelah timur danau, dekat Pura Dalem Tamblingan. Hasil penelitian memperlihatkan prasasti itu berbahasa Jawa Kuno, kira-kira pada zaman Majapahit, sezaman dengan prasasti yang tersimpan di Pura Tuluk Biyu, Desa Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
 
     Prasasti temuan Pan Nitri lebih banyak memuat perintah penguasa di Majapahit yang ditujukan kepada Pande Besi di Tamblingan, agar kembali ke desa semula untuk bekerja, dan pejabat jangan mengganggu.
 
    Dalam terkaan Gusti Suarbhawa, ada kemungkinan para penguasa di Bali pasca penundukan oleh Majapahit, mengganggu keberadaan warga Bali Kuno, termasuk karaman i Tamblingan yang berprofesi sebagai pande besi, sehingga mereka memilih keluar dari desa aslinya. Guna menjaga keamanan dan kenyamanan penduduk asli di Tamblingan, maka penguasa Majapahit pun mengeluarkan sejenis surat perintah dalam bentuk prasasti.
 
     Tak hanya tinggalan prasasti, bukti lain yang bisa menjadi penguat adalah bahwa di sekitar danau ini pernah ada kehidupan masyarakat Bali purba, dengan ditemukannya berbagai peninggalan. Mulai dari tempat suci, seperti Pura Dalem Tamblingan dengan peninggalan berupa Celak Kontong Lugeng Luwih berbahan batu yang hingga kini tersimpan di Pura Dalem Tamblingan. Celak Kontong Lugeng Luwih diyakini sebagai simbol kesuburan. Kemudian ada Pura Endek, Pura Tajun, Pura Embang, Pura Sanghyang Kauh, dan tempat suci lain yang mengelilingi danau.
 
     Tinggalan lainnya, berdasarkan hasil ekskavasi (penggalian) arkeologis yang dilakukan peneliti dari Balai Arkeologi (Balar), Denpasar, berbagai benda berupa artefak, yakni benda-benda dari tanah liat, seperti fragmen alat keperluan sehari-hari maupun sarana untuk menggelar upacara, di antaranya pecahan periuk, pasu, kendi, termasuk arca. Ada pula artefak terbuat dari batu, berupa fragmen beliung persegi yang diduga sebagai alat oleh karaman i tamblingan.
 
     Selain temuan dari hasil penggalian, di dataran sebelah timur danau terdapat tinggalan berupa palungan dari batu. Pengamatan Peneliti Balar Denpasar memperkirakan palungan itu sebagai tempat bak air, sarana yang digunakan para pande besi. Asumsi itu diperkuat lagi dengan temuan sebuah batu besar pipih, permukaannya halus, berkilau, dan bergigi pada bagian tepi. Ada dugaan batu pipih dimaksud sebagai landasan pukul oleh pande besi.
 
     Dari temuan prasasti beserta tulisan yang termuat di dalamnya, ditambah tinggalan benda-benda arkeologis, Gusti Suarbhawa meyakini, di tepian sebelah timur Danau Tamblingan dulu pernah hidup masyarakat yang menyebut diri karaman i tamblingan yang sebagain berprofesi sebagai pande besi, di samping menggeluti usaha pertanian dan peternakan.
 
     “Kalau melihat kapan mereka mulai tinggal di tempat ini, besar kemungkinan pada zaman batu sudah ada. Ini terbukti dari ditemukannya alat-alat berbahan batu,” Suarbhawa menambahkan.
 
    Selain menjalani hidup dengan beraneka profesi, terutama menjadi pande besi, warga Tamblingan purba juga telah melakoni kegiatan keagamaan dengan menganut aliran kepercayaan tertentu, seperti yang termuat pada prasasti Gobleg, Pura Batur A, serta di prasasti Gobleg, Batur B. Prasasti Gobleg, Batur A, yang merupakan prasasti tertua menyebutkan keberadaan Desa Tamblingan, menyuratkan: .... adapnah anak banua di tamblingan makahajumpung, jumpung wisnawa ....”
 
    Jika mencermati isi prasasti tadi, maka pada zaman Tamblingan Kuno sebagian besar masyarakatnya merupakan golongan Waisnawa atau kelompok pemuja Wisnu, satu di antara tiga dewa (Tri Sakti) yang dipercaya di Bali. Dua lainnya, Dewa Brahma dan Siwa/Iswara. Dewa Wisnu diidentikkan sebagai Dewa Air sekaligus menjadi dewa pelindung, Dewa Brahma sebagai penguasa Agni (Api), dan Dewa Siwa diidentikkan sebagai penguasa angin.
 
     Di Bali, bekas-bekas penganut ajaran Waisnawa hingga kini tetap terpelihara utuh. Terbukti munculnya sebutan Dewi Sri bagi dewi padi dan sebutan manifestasi Tuhan lainnya. Ada pula tradisi ngusaba nini sebagai bentuk pemujaan bagi Dewi Sri-Laksmi, sakti Dewa Wisnu—selain ritus-ritus pemujaan air, seperti malasti . Mereka lazimnya memberlakukan tradisi kubur, jasad dikubur, bukan dibakar sebagaimana berlaku di Bali dataran di selatan.
 
    Pada prasasti Gobleg, Batur B, terutama pada bagian yang disebut sapatha ada ditulis tentang dewa-dewa agama Hindu, yang dimohonkan sebagai saksi dalam penetapan prasasti. Dewa-dewa ini pun diharapkan nantinya menghukum mereka yang melanggar ketentuan-ketentuan yang termuat dalam prasasti.
 
     Ada pula prasasti Kerobokan atau Buyan Sanding Tamblingan (tanpa disertai angka tahun) dan diperkirakan dikeluarkan oleh Raja Jayapangus (1177-1181 Masehi), yang menyebutkan tentang ajaran lain yang dianut i karaman Tamblingan , yakni ajaran Siwa. Termasuk menyebutkan peran tokoh mpu dari kelompok Siwa, Mpu Caiwasogata.
 
     Peran tokoh agama di Tamblingan pada masa itu cukup sentral, mengingat kemampuan para tokoh ini dalam bidang ilmu sastra maupun aspek politik pemerintahan. Berbagai jenis tradisi keagamaan juga berjalan kukuh. Terus berlanjut, seiring dengan perkembangan zaman. Ritus tua di zaman Tamblingan Kuno itulah hingga kini terus dijalankan turunan karaman i Tamblingan yang tersebar di caturdesa (empat desa): Gobleg, Munduk, Gesing, dan Umajero.
 
     Sesuai kisah turun-temurun di masyarakat Tamblingan, akibat bencana alam yang sulit dihindari, maka tetua mereka memilih mengungsi ke lokasi aman, jauh di bawah gunung. Namanya: Indu Gobed, lama-lama berubah menjadi Gobleg.
 
    Dari Gobleg, warga Tamblingan lantas menyebar ke tiga desa lainnya: Desa Gesing, Munduk, dan Desa Umajero, semula berbentuk banjar dengan pusat di Gobleg, namun belakangan ketiga banjar ini berdiri sebagai desa pakraman, dengan tetap mematuhi tradisi tua Gobleg yang diusung dari tepian Danau Tamblingan. Ketiga banjar yang menjadi desa pakraman ini kini lumrah disebut caturdesa (empat desa).
 
    Warga keempat desa inilah, menurut Jero Mangku Putu Darma, tetua turunan i karaman Tamblingan yang berdiam di Gobleg, hingga sekarang sebagai pelanjut berbagai ritus keagamaan, termasuk menjadi pangempon Pura Pamulungan Agung, sebuah tempat suci penting di Desa Gobleg. Di pura ini krama dari keempat desa ini dipersatukan lewat ritus-ritus tua.
 
    “Kami tak hendak mengabaikan tradisi tinggalan para tetua kami,” tegas Jero Mangku Putu Darma.
 
    Tradisi Tamblingan yang ada kini, tentu merupakan hasil proses perkembangan panjang, dari zaman Bali Purba dan Bali Aga dengan tradisi kuburnya. Menyusul lantas Bali Kadiri hingga Bali Majapahit, dengan sebutan dalem bagi penguasa puncak.
 
    Namun, satu hal yang tetap: mereka disatukan oleh situs air Danau Tamblingan—yang mengairi sebagian wilayah Kabupaten Tabanan, Badung, Buleleng, dan Jembrana. Tak heran bila dalam ritus-ritus tertentu terkait dengan situs Danau Tamblingan, warga dari keempat kabupaten itu pun berdatangan.
 
    Maka, kelangsungan tradisi dan situs Tamblingan sejatinyalah sangat terkait dengan kelanjutan peradaban besar Bali yang bersumber pada air Danau Tamblingan, selain Danau Buyan, Beratan, dan Batur. Bila tradisi, kearifan, dan situs-situs air di Bali ini telah punah, tak lagi mewujud nyata dalam perawatan air danau, niscaya peradaban Bali berarti menghadapi masalah besar yang sangat serius. (Made Tirthayasa).—
Sumber: babadbali

No comments:

Post a Comment

Redaksi DEWATA NEWS menerima komentar terkait artikel yang ditayangkan di DEWATA NEWS . Isi komentar menjadi tanggung jawab pengirim. Pembaca berhak melaporkan komentar jika dianggap tidak etis, kasar, berisi fitnah, atau berbau SARA. Redaksi DEWATA NEWS akan menilai laporan dan berhak memberi peringatan dan menutup akses terhadap pemberi komentar.

Terimakasih
www.dewatanews.com